Thursday, 5 May 2016

Makalah Allus Sunnah Wal Jamaah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Permasalahan
Di dunia ini islam telah terbagi ke dalam beberapa golongan. Golongan ini tidak sedikit jumlahnya, akan tetapi yang menarik perhatian kami untuk jadikan pembahasan dalam makalah ini adalah ahlussunah wal jama’ah. Di dalam makalah ini kami ingin membahas apa sebenarnya yang di maksut dengan ahlussunah wal jama’ah, dan prinip-prinsip yang di pegang oleh ahlussunah wal jama’ah. Di antara segi tinjauan yang memungkinkan kita bisa mengetahui siapa ahlu sunnah wal jama’ah itu ialah:
Pertama, sesungguhnya mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Merekalah ahli sunnah, yakni orang-orang yang mengajarkannya, menjaganya, mengamalkannya, mengutipnya, dan membawanya baik dalam bentuk riwayat atau dirayat atau manhaj. Jadi merekalah yang paling dahulu mengenal sekaligus mengamalkan as sunnah.
Kedua, selanjutnya ialah para pengikut sahabat Rasaulullah shallallahu alaihi wa sallam. Merekalah yang menerima tongkat estafet agama dari para sahabat, yang mengutip, yang mengetahui, dan yang mengamalkannya. Mereka adalah para tabi’in dan generasi yang hidup sesudah mereka, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat kelak. Mereka itulah sejatinya ahli sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka berpegang teguh padanya, tidak membikin bid’ah macam-macam, dan tidak mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman.
Ketiga, ahli sunnah wal jama’ah, mereka adalah para salafus saleh, yakni orang-orang yang setia pada Al Qur’an dan as sunnah, yang konsisten mengamalkan petunjuk Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang mengikuti jejak langkah peninggalan para sahabat, para tabi’in, dan pemimpin-pemimpin pembawa petunjuk umat, yang jadi tokoh panutan dalam urusan agama, yang tidak membikin bid’ah macam-macam, yang tidak menggantinya, dan yang tidak mengada-adakan sesuatu yang tidak ada dalam agama Allah.
Keempat, ahli sunnah wal jama’ah ialah satu-satunya golongan yang berjaya dan mendapat pertolongan Allah sampai hari kiamat nanti, karena merekalah yang memang cocok dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
“Ada segolongan dari umatku yang selalu membela kebenaran. Mereka tidak merasa terkena mudharat orang-orang yang tidak mendukung mereka sampai datang urusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu..”
Dalam satu lafazh disebutkan:
“Ada segolongan umatku yang senantiasa menegakkan perintah Allah….”
Kelima, mereka adalah orang-orang yang menjadi asing atau aneh ketika dimana-mana banyak orang yang suka mengumbar hawa nafsu, berbagai kesesatan merajalela, bermacam-macam perbuatan bid’ah sangat marak, dan zaman sudah rusak. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
“Semula Islam itu asing dan akan kembali asing. Sungguh beruntung orang-orang yang asing.”
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
“Sungguh beruntung orang-orang yang asing, yakni beberapa orang saleh yang hidup di tengah-tengah banyak manusia yang jahat. Lebih banyak orang yang memusuhi mereka daripada yang taat kepada mereka.”
Sifat tersebut cocok dengan ahli sunnah wal jama’ah.
Keenam, mereka adalah para ahli hadist, baik riwayat maupun dirayat. Karena itulah kita melihat para tokoh kaum salaf menafsiri al tha’ifat al manshurat dan al firqat al najiyat, yakni orang-orang ahli sunnah wal jama’ah, bahwa mereka adalah para ahli hadist. Hal itu berdasarkan riwayat dari Ibnu Al Mubarak, Ahmad bin Hambal, Al Bukhari, Ibnu Al Madini, dan Ahmad bin Sinan. Ini benar, karena para ahli hadist lah yang layak menyandang sifat tersebut, mereka adalah para pemimpin ahli sunnah.
Mengomentari kalimat al tha’ifat al manshurat Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Kalau yang dimaksud dengan mereka bukan ahli hadist, saya tidak tahu lalu siapa lagi?!”
Al Qadhi Iyadh mengatakan: “Sesungguhnya yang dimaksud dengan mereka oleh Imam Ahmad ialah ahli sunnah wal jama’ah, dan orang yang percaya pada madzhab ahli hadist.”
Sementara nama al jama’ah, karena mereka berpegang pada pesan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam untuk setia pada jama’ah atau kebersamaan. Mereka bersama-sama sepakat atas kebenaran, dan berpegang teguh padanya. Mereka mengikuti jejak langkah jama’ah kaum muslimin yang berpegang teguh pada as sunnah dari generasi sahabat, tabi’in, dan para pengikut mereka. Mengingat mereka bersama-sama bersatu dalam kebenaran, bersama-sama bersatu ikut pada jama’ah, bersama-sama bersatu taat pada pemimpin mereka, bersama-sama bersatu melakukan jihad, bersama-sama bersatu tunduk kepada para penguasa kaum muslimin, bersama-sama bersatu mengerjakan yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, bersama-sama bersatu mengikuti as sunnah, dan bersama-sama bersatu meninggalkan berbagai perbuatan bid’ah, perbuatan yang terdorong oleh keinginan-keinginan nafsu, serta perbuatan yang mengundang perpecahan, maka merekalah jama’ah sejati yang mendapat perhatian Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.

1.2  Rumusan Masalah
·         Apa sebenar nya ahlussunah wal jama’ah itu ?
·         Bagaimana sejarah lahir nya ahlussunah wal jama’ah ?
·         Prinsip-prinsip apa yang di pegang oleh ahlussunah wal jama’ah ?






BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Ahlus Sunnah wal Jama'ah

1. Pengertian as-Sunnah Secara Bahasa (Etimologi)
As-Sunnah  secara bahasa berasal dari kata: "sanna yasinnu", dan "yasunnu sannan", dan "masnuun" yaitu yang disunnahkan. Sedang "sanna amr" artinya menerangkan (menjelaskan) perkara.
As-Sunnah juga mempunyai  arti "at-Thariqah" (jalan/metode/pandangan hidup) dan "as-Sirah" (perilaku) yang terpuji dan tercela. Seperti sabda Rasulullah SAW, 
"Sungguh kamu  akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta."(HR. Al-Bukhari dan Muslim). (HR. Al-Bukhari no 3456, 7320 dan Muslim no. 2669 dari Sahabat Abu Sa'id al-Khudri).
Lafazh "sanana" maknanya adalah (pandangan hidup mereka dalam urusan agama dan dunia). 
"Barangsiapa memberi contoh suatu sunnah (perilaku) yang baik dalam Islam, maka baginya pahala kebaikan tersebut dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya, tanpa mengurangi sesuatu apapun dari pahala mereka. Dan barang siapa memberi contoh sunnah (perilaku) yang jelak dalam Islam ...." (HR. Muslim).

2.  Pengertian as-Sunnah Secara Istilah (Terminologi)
Yaitu petunjuk yang telah ditempuh oleh rasulullah SAW dan para Sahabatnya baik berkenaan dengan ilmu, ‘aqidah, perkataan, perbuatan maupun ketetapan.
As-Sunnah juga digunakan untuk menyebut sunnah-sunnah (yang berhubungan dengan) ibadah dan ‘aqidah.Lawan kata "sunnah" adalah "bid'ah". 
Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian setelahkau, maka akan melihat perselisihan yang banyak.Maka hendaknya kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa-ur Rasyidin dimana mereka itu telah mendapat hidayah." (Shahih Sunan Abi Dawud oleh Syaikh al-Albani

3.  Pengertian Jama'ah Secara Bahasa (Etimologi)        
Jama'ah diambil dari kata "jama'a" artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian dengan sebagian lain. Seperti kalimat "jama'tuhu" (saya telah mengumpulkannya); "fajtama'a" (maka berkumpul).
Dan kata tersebut berasal dari kata "ijtima'" (perkumpulan), ia lawan kata dari "tafarruq" (perceraian) dan juga lawan kata dari "furqah" (perpecahan).
Jama'ah adalah sekelompok orang banyak; dan dikatakan juga sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan.

4.  Pengertian Jama'ah Secara Istilah (Terminologi):
Yaitu kelompok kaum muslimin ini, dan mereka adalah pendahulu ummat ini dari kalangan para sahabat, tabi'in dan orang-orang yang mengikuti jejak kebaikan mereka sampai hari kiamat; dimana mereka berkumpul berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah dan mereka berjalan sesuai dengan yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW baik secara lahir maupun bathin.
Allah Ta'ala telah memeringahkan kaum Mukminin dan menganjurkan mereka agar berkumpul, bersatu dan tolong-menolong.Dan Allah melarang mereka dari perpecahan, perselisihan dan permusuhan. Allah SAW berfirman:
"Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai." (Ali Imran: 103). 
Dia berfirman pula, "Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka." (Ali Imran: 105). 
Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya agama ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (golongan), tujuh puluh dua tempatnya di dalam Neraka dan satu tempatnya di dalam Surga, yaitu ‘al-Jama'ah." (Shahih Sunan Abi Dawud oleh Imam al-Albani
Jadi Ahlus Sunnah wal Jama'ah, adalah mereka yang berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti jejak dan jalan mereka, baik dalam hal ‘aqidah, perkataan maupun perbuatan, juga mereka yang istiqamah (konsisten) dalam ber-ittiba' (mengikuti Sunnah Nabi SAW) dan menjauhi perbuatan bid'ah. Mereka itulah golongan yang tetap menang dan senantiasa ditolong oleh Allah sampai hari Kiamat.Oleh karena itu mengikuti mereka (Salafush Shalih) berarti mendapatkan petunjuk, sedang berselisih terhadapnya berarti kesesatan. 

Ahlus Sunnah wal Jama'ah mempunyai karakteristik dan keistimewaan, diantaranya :
1.      Mereka mempunyai sikap wasathiyah (pertengahan) di antara ifraath (melampaui batas) dan tafriith (menyia-nyiakan); dan di antara berlebihan dan sewenang-wenang, baik dalam masalah ‘aqidah, hukum atau akhlak. Maka mereka berada di pertengahan antara golongan-golongan lain, sebagaimana juga ummat ini berada dipertengahan antara agama-agama yang ada.
2.      Sumber pengambilan pedoman bagi mereka hanyalah al-Qur-an dan as-Sunnah, Mereka pun memperhatikan keduanya dan bersikap taslim (menyerah) terhadap nash-nashnya dan memahaminya sesuai dengan manhaj Salaf.
3.      Mereka tidak mempunyai iman yang diagungkan, yang semua perkataannya diambil dari meninggalkan apa yang bertentangan dengan kecuali perkataan Rasulullah SAW. Dan Ahli Sunnah itulah yang paling mengerti dengan keadaan Rasulullah SAW  perkataan dan perbuatannya. Oleh karena itu, merekalah yang paling mencintai sunnah, yang paling peduli untuk mengikuti dan paling lolal terhadap para pengikutnya.
4.      Mereka meninggalkan persengketaan dan pertengkaran dalam agama sekaligus menjauhi orang-orang yang terlibat di dalamnnya, meninggalkan perdebatan dan pertengkaran dalam permasalahan tentang halal dan haram. Mereka masuk ke dalam dien (Islam) secara total.
5.      Mereka mengagungkan para Salafush Shalih dan berkeyakinan bahwa metode Salaf itulah yang lebih selamat, paling dalam pengetahuannya dan sangat bijaksana.
6.      Mereka  menolak ta'wil (penyelewengan suatu nash dari makna yang sebenarnya) dan menyerahkan diri kepada syari'at, dengan mendahulukan nash yang shahih daripada akl (logika) belaka dan menundukkan akal di bawah nash.
7.      Mereka memadukan antara nash-nash dalam suatu permasalahan dan mengembalikan (ayat-ayat) yang mutasyabihat (ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian/tidak jelas) kepada yang muhkam (ayat-ayat yang jelas dan tegas maksudnya).
8.      Mereka merupakan  figur teladan orang-orang yang shalih, memberikan petunjuk ke arah jalan yang benar dan lurus, dengan kegigihan mereka di atas kebenaran, tidak membolak-balikkan urusan ‘aqidah kemudian bersepakat atas penyimpangannya. Mereka memadukan antara ilmu dan ibadah, antara tawakkal  kepada Allah dan ikhtiar (berusaha), antara berlebih-lebihan dan wara' dalam urusan dunia, antara cemas dan harap, cinta dan benci, antara sikap kasih sayang dan lemah lembut kepada kaum mukminin dengan sikap keras dan kasar kepada orang kafir, serta tidak ada perselisihan diantara mereka walaupun di tempat dan zaman yang berbeda.
9.      Mereka tidak menggunakan sebutan selain Islam, Sunnah dan Jama'ah.
10.  Mereka peduli untuk menyebarkan ‘aqidah yang benar, agama yang lurus, mengajarkannya kepada manusia, memberkan bimbingan dan nasehat kepadanya serta memperhatikan urusan mereka.
11.  Mereka adalah orang-orang yang paling sabar atas perkataan, ‘aqidah dan dakwahnya.
12.  Mereka sangat peduli terhadap persatuan dan jama'ah, menyeru dan menghimbau manusia kepadanya serta menjauhkan perselisihan, perpecahan dan memberikan peringatan kepada manusia dari hal tersebut.
13.  Allah Ta'ala menjaga mereka dari sikap saling mengkafirkan sesama mereka, kemudian mereka menghukumi orang selain mereka berdasarkan ilmu dan keadilan.
14.  Mereka saling mencintai dan mengasihi sesama mereka, saling tolong menolong diantara mereka, saling menutupi kekurangan sebagian lainnya. Mereka tidak loyal dan memusuhi kecuali atas dasar agama.
Secara garis besarnya, ahlus sunnah wal jama'ah adalah manusia yang paling baik akhlaknya, sangat peduli terhadap kesucian jiwa  mereka dengan berbuat ketaatan kepada Allah Ta'ala, paling luas wawasannya, paling jauh pandangan, paling lapang dadanya dengan khilaf (perbedaan pendapat) dan paling mengetahui tentang adab-adab  dan prinsip-prinsip khilaf.
5. Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Secara Ringkas
Bahwa Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah suatu golongan yang telah Rasulullah SAW janjikan akan selamat di antara golongan-golongan yang ada. Landasan mereka bertumpu pada ittiba'us sunnah (mengikuti as-Sunnah) dan menuruti apa yang dibawa oleh nabi baik dalam masalah ‘aqidah, ibadah, petunjuk, tingkah laku, akhlak dan selalu menyertai jama'ah kaum Muslimin.
Dengan demikian, maka definisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak keluar dari definisi Salaf. Dan sebagaimana telah dikemukakan bahwa salaf  ialah mereka yang mengenalkan Al-Qur-an dan berpegang teguh dengan As-Sunnah. Jadi Salaf adalah Ahlus Sunnah yang dimaksud oleh Nabi SAW. Dan ahlus sunnah adalah Salafush Shalih dan orang yang mengikuti jejak mereka.
Inilah pengertian yang lebih khusus  dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Maka tidak termasuk dalam makna ini semua golongan ahli bid'ah dan orang-orang yang mendikuti keinginan nafsunya, seperti  Khawarij, Jahmiyah, Qadariyah, Mu'tazilah, Murji'ah, Rafidhah (Syiah) dan lain-lainnya dari ahli bid'ah yang meniru jalan mereka.
Maka sunnah adalah lawan kata bid'ah, sedangkan jama'ah lawan kata firqah (gologan). Itulah yang dimaksudkan dalam hadits-hadits tentang kewajiban berjama'ah dan larangan bercerai-berai.
sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy(Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm. 50 -60.

2.2 Lahirnya nama Ahlus Sunnah Waljamaah 
Dahulu di zamaan Rasulullaah SAW.kaum muslimin dikenal bersatu, tidak ada golongan ini dan tidak ada golongan itu, tidak ada syiah ini dan tidak ada syiah itu, semua dibawah pimpinan dan komando Rasulullah SAW.
Bila ada masalah atau beda pendapat antara para sahabat, mereka langsung datang kepada Rasulullah SAW. itulah  yang membuat para sahabat saat itu tidak sampai terpecah belah, baik dalam masalah akidah, maupun dalam urusan duniawi.2)
Kemudian setelah  Rasulullah SAW. wafat, benih-benih perpecahan mulai tampak dan puncaknya terjadi saat Imam Ali kw. menjadi khalifah. Namun perpecahan tersebut hanya bersifat politik, sedang akidah mereka tetap satu yaitu akidah Islamiyah, meskipun saat itu benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai ditebarkan oleh Ibin Saba’, seorang yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai pencetus faham Syiah (Rawafid).
Tapi setelah para sahabat wafat, benih-benih perpecahan dalam akidah tersebut mulai membesar, sehingga timbullah faham-faham yang bermacam-macam yang menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW.
Saat itu muslimin terpecah dalam dua bagian, satu bagian dikenal sebagai golongan-golongan ahli bid’ah, atau kelompok-kelompok sempalan dalam Islam, seperti Mu’tazilah, Syiah (Rawafid), Khowarij dan lain-lain. Sedang bagian yang satu lagi adalah golongan terbesar, yaitu golongan orang-orang yang tetap berpegang teguh kepada apa-apa yang dikerjakan dan diyakini oleh Rasulullah SAW.bersama sahabat-sahabatnya.
Golongan yang terakhir inilah yang kemudian menamakan golongannya dan akidahnya Ahlus Sunnah Waljamaah.Jadi golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah golongan yang mengikuti sunnah-sunnah nabi dan jamaatus shohabah.
Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW : bahwa golongan yang selamat dan akan masuk surga (al-Firqah an Najiyah) adalah golongan yang mengikuti apa-apa yang aku (Rasulullah SAW) kerjakan bersama sahabat-sahabatku.
Dengan demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah adalah akidah Islamiyah yang dibawa oleh Rasulullah  dan golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah umat Islam.  Lebih jelasnya, Islam adalah Ahlus Sunnah Waljamaah dan Ahlus Sunnah Waljamaah itulah Islam. Sedang golongan-golongan ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah, Syiah(Rawafid) dan lain-lain, adalah golongan yang menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW yang berarti menyimpang dari ajaran Islam.
Dengan demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah itu sudah ada sebelum Allah menciptakan Imam Ahmad, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hambali.Begitu pula sebelum timbulnya ahli bid’ah atau sebelum timbulnya kelompok-kelompok sempalan.
Akhirnya yang perlu diperhatikan adalah, bahwa kita sepakat bahwa Ahlul Bait adalah orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi SAW. dan mereka tidak menyimpang dari ajaran nabi. Mereka tidak dari golongan ahli bid’ah, tapi dari golongan Ahlus Sunnah.1)

2.3 Al-Firqotun Najiyah Adalah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah
Pada masa kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum muslimin itu adalah umat yang satu sebagaimana di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian, maka beribadahlah kepada-Ku”. (Al-Anbiyaa : 92).
Maka kemudian sudah beberapa kali kaum Yahudi dan munafiqun berusaha memecah belah kaum muslimin pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka belum pernah berhasil.Telah berkata kaum munafiq.
“Artinya : Janganlah kamu berinfaq kepada orang-orang yang berada di sisi Rasulullah, supaya mereka bubar”.
Yang demikian tersebut bisa terjadi karena masih banyaknya ulama dari kalangan muhadditsin, mufassirin dan fuqaha.Mereka termasuk sebagai ulama tabi’in dan pengikut para tabi’in serta para imam yang empat dan murid-murid mereka.Juga disebabkan masih kuatnya daulah-dualah Islamiyah pada abad-abad tersebut, sehingga firqah-firqah menyimpang yang mulai ada pada waktu itu mengalami pukulan yang melumpuhkan baik dari segi hujjah maupun kekuatannya.
Setelah berlalunya abad-abad yang dipuji ini bercampurlah kaum muslimin dengan pemeluk beberapa agama-agama yang bertentangan.Diterjemahkannya kitab ilmu ajaran-ajaran kuffar dan para raja Islam-pun mengambil beberapa kaki tangan pemeluk ajaran kafir untuk dijadikan menteri dan penasihat kerajaan, maka semakin dahsyatlah perselisihan di kalangan umat dan bercampurlah berbagai ragam golongan dan ajaran.Begitupun madzhab-madzhab yang batilpun ikut bergabung dalam rangka merusak persatuan umat.Hal itu terus berlangsung hingga zaman kita sekarang dan sampai masa yang dikehendaki Allah. Walaupun demikian kita tetap bersyukur kepada Allah karena Al-Firqatun Najiyah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah masih tetap berada dalam keadaan berpegang teguh dengan ajaran Islam yang benar berjalan diatasnya, dan menyeru kepadanya ; bahkan akan tetap berada dalam keadaan demikian sebagaimana diberitakan dalam hadits Rasulullah tentang keabadiannya, keberlangsungannya dan ketegarannya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah demi langgenggnya Din ini dan tegaknya hujjah atas para penentangnya.
Sesungguhnya kelompok kecil yang diberkahi ini berada di atas apa-apa yang pernah ada semasa sahabat Radhiyallahu ‘anhum bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam perkataan perbuatan maupun keyakinannya seperti yang disabdakan oleh beliau.
“Artinya : Mereka yaitu barangsiapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini2)
Prinsip-prinsip tersebut teringkas dalam butir-butir berikut : 

Ø  Prinsip Pertama
Beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir baik dan buruk.
1.      Iman kepada Allah
2.      Beriman kepada Para Malaikat-Nya
3.      Iman kepada Kitab-kitab-Nya
4.      Iman Kepada Para Rasul
5.      Iman Kepada Hari Akhirat
6.      Iman kepada taqdir.
Ø  Prinsip Kedua 
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah : bahwasanya iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan kema’shiyatan, maka iman itu bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab yang demikian itu merupakan keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iman itu hanya sekedar ma’rifah (mengetahui) dan meyakini tanpa ikrar dan amal sebab yang demikian itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran. Allah berfirman.
“Artinya : Dan mereka mengingkarinya karena kedzoliman dan kesombongan (mereka), padahal hati-hati mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan itu”. (An-Naml : 14)
“Artinya : ……. karena sebenarnya mereka bukan mendustakanmu, akan tetapi orang-orang yang dzolim itu menentang ayat-ayat Allah”. (Al-An’aam : 33)
“Artinya : Dan kaum ‘Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu kehancuran tempat-tempat tinggal mereka. Dan syetan menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka sehingga menghalangi mereka dari jalan Allah padahal mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam” (Al-Ankabut : 38)
Bukan pula iman itu hanya suatu keyakinan dalam hati atau perkataan dan keyakinan tanpa amal perbuatan karena yang demikian adalah keimanan golongan Murji’ah ; Allah seringkali menyebut amal perbuatan termasuk iman sebagaimana tersebut dalam firman-Nya.
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang apabila ia disebut nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya dan kepada Allahlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada mereka. Merekalah orang-orang mu’min yang sebenarnya …” (Al-Anfaal : 2-4).
“Artinya : Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian” (Al-Baqarah : 143).
Ø  Prinsip Ketiga
Dan diantara prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwasanya mereka tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya.Adapun perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya sebagai kafir. Misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelaku (dosa besar tersebut) tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. Apabila dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Dia berkehendak Dia akan mengampuninya, namun si pelaku tidak kekal di neraka, telah berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa-dosa selainnya bagi siapa yang dikehendakinya …” (An-Nisaa : 48).
Ø  Prinsip Keempat
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah wajibnya ta’at kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat kema’skshiyatan, apabila mereka memerintahkan perbuatan ma’shiyat, dikala itulah kita dilarang untuk menta’atinya namun tetap wajib ta’at dalam kebenaran lainnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta’atlah kamu kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul serta para pemimpin diantara kalian …” (An-Nisaa : 59)

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Dan aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba”.(Telah terdahulu takhrijnya, merupakan potongan hadits ‘Irbadh bin Sariyah tentang nasihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya)
Ø  Prinsip Kelima
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah haramnya keluar untuk memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur.Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wajibnya ta’at kepada mereka dalam hal-hal yang bukan ma’shiyat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas.Berlainan dengan Mu’tazilah yang mewajibkan keluar dari kepemimpinan para imam/pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai amar ma’ruf nahi munkar.Sedang pada kenyataannya, keyakinan Mu’tazilah seperti ini merupakan kemunkaran yang besar karena menuntut adanya bahaya-bahaya yang besar baik berupa kericuhan, keributan, perpecahan dan kerawanan dari pihak musuh.
Ø  Prinsip Keenam 
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasul Radhiyallahu ‘anhum sebagaimana hal ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika mengkisahkan Muhajirin dan Anshar dan pujian-pujian terhadap mereka.
“Artinya : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan : Ya Allah, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman : Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (Al-Hasyr : 10).
Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma’in. Barangsiapa yang mencela salah satu khalifah diantara mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka dalam silsilah seperti ini.
Ø  Prinsip Ketujuh
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya.

“Artinya : Sesunnguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku”.( Dikeluarkan Muslim 5 Juz 15, hal 180 Nawawy, Ahmad 4/366-367 dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab As-Sunnah No. 629).
Sedang yang termasuk keluarga beliau adalah istri-istrinya sebagai ibu kaum mu’minin Radhiyallahu ‘anhunna wa ardhaahunna
Dan saudara-saudara Rasulullah yang sholeh tersebut mempunyai hak atas kita berupa penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap mereka dengan mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka.Adapaun keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau madlarat selain dari Allah adalah bathil, sebab Allah telah berfirman.
“Artinya : Katakanlah (hai Muhammad) : Bahwasanya aku tidak kuasa mendatangkan kemadlaratan dan manfaat bagi kalian”. (Al-Jin : 21).
Apabila Rasulullah saja demikian, maka bagaimana pula yang lainnya. Jadi, apa yang diyakini sebagian manusia terhadap kerabat Rasul adalah suatu keyakinan yang bathil.
Ø  Prinsip Kedelapan
Sedang golongan yang mengingkari adanya karomah-karomah tersebut daintaranya Mu’tazilah dan Jahmiyah, yang pada hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya.Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian manusia pada zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karomah, bahkan berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk karomah baik berupa jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya itu jelas, Karomah adalah kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang sholeh, sedang sihir adalah keluar biasaan yang biasa diperlihatkan para tukang sihir dari orang-orang kafir dan atheis dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengeruk harta-harta mereka. Karomah bersumber pada keta’atan, sedang sihir bersumber pada kekafiran dan ma’shiyat.

Ø  Prinsip Kesembilan
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan atau Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik secara lahir maupun bathin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti Al-Khulafaur-rasyidin sebagaimana wasiat Rasulullah dalam sabdanya.
“Artinya : Berepegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang mendapat petunjuk”.(Telah terdahulu takhrijnya).
Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah.Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah.Setelah mengambil dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar yang pertama ; yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah.Allah telah berfirman.
“Artinya : Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya”. (An-Nisaa : 59)
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema’shuman seseorang selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka tidak berta’ashub pada suatu pendapat sampai pendapat tersebut bersesuaian dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya.Mereka tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul ‘ilmi. 3)
















BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Bahwa Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah suatu golongan yang telah Rasulullah SAW janjikan akan selamat di antara golongan-golongan yang ada. Landasan mereka bertumpu pada ittiba'us sunnah (mengikuti as-Sunnah) dan menuruti apa yang dibawa oleh nabi baik dalam masalah ‘aqidah, ibadah, petunjuk, tingkah laku, akhlak dan selalu menyertai jama'ah kaum Muslimin.
Yang masuk dalam golongan ini adalah mereka yang mengikuti sunah nabi Muhammad SAW (Ahussunah)dan sahabat para Nabi ( Jamaah ). Pendiri aliran ini adalah Abu al-Hasan al- Asy'ari di Basrah dan Abu Mansur al-Maturidi di Samarkand.
Konstribsi islam dalam perdamaian dunia dan regional,sedemikian besar dalam sejarah umat manusia.menurut islam,tujuan utama penciptaan manusia adalah saling mengenal dan hidup damai.untuk hal ini kita akan mengacu pada sejumlah ayat al-quran.ahlusunnah merupakan golongan yang luas.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah alkaff. 1987. Tauhit
R. Abdul Rozak. M.Ag. DR. Rosihon Anwar.M.Ag. 2010. Ilmu kalam : CV. Pustaka Setia
Shaleh al-fauzan. 2006. Prinsip-prinsip ahlussunah wal jamaah. Maktab dakwah dan bimbingan jaliyat rabwan
[1] Abdullah alkaff, 1987 , tauhit , hal 28
2 shaleh al-fauzan, prinsip-prinsip ahlussunah wal jamaah, hal 12-15

3shaleh al-fauzan, prinsip-prinsip ahlussunah wal jamaah, hal 25-28

Makalah Al Quran Al Hadist dan Ijma

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad saw untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Petunjuk-petunjuk yang dibawanya pun dapat menyinari seluruh isi alam ini. Sebagai kitab bidayah sepanjang zaman, al-Qur’an memuat informasi-informasi dasar tentang berbagai masalah, baik informasi tentang hukum, etika, kedokteran dan sebagainya.
Hal ini merupakan salah satu bukti tentang keluasan dan keluwesan isi kandungan al-Qur’an tersebut. Informasi yang diberikan itu merupakan dasar-dasarnya saja, dan manusia lah yang akan menganalisis dan merincinya, membuat keautentikan teks al-Qur’an menjadi lebih tampak bila berhadapan dengan konteks persoalan-persoalan kemanusiaan dan kehidupan modern.
Dalam kaitannya antara nisbat As-sunnah terhadap Al-Quran, para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah berfungsi menjelaskan apa yang terdapat dalam Al-Quran dan juga sebagai penguat. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Quran apabila As-Sunnah itu tidak sejalan dengan zhahir ayat Al-Quran.
Para ulama menetapkan bahwa Ijma menduduki peringkat ketiga setelah al-Quran dan Hadis Nabi. Namun demikian suatu ijma tidak boleh menyalahi Nash al-Quran dan Hadis yang bersifat qath’I (nash yang sudah jelas, gamblang dan tidak membutuhkan penafsiran).
Seluruh ulama sepakat bahwa “Ijma’ shorih” dapat dijadikan sebagai hujjah / dasar pijakan hukum. Namun demikian mereka berbeda pendapat mengenahi “ijma’ sukuti”.

1.2  Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui tentang Al-Quran, Al-hadist dan Ijma’





BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Al-Qur’an
2.1.1 Pengertian Al-Qur’an
Mengenai asal kata “Al-Qur’an” para ulama berselisih pendapat. Menurut Asy-Syafi’i kata “ Al-Qur’an” utu ditulis dan dibaca tanpa hamzah (Al-Qur’an). Ia tidak berasal dari suatu kata, tetapi ia merupakan sebutan khusus bagi kitab suci yang diberikan kepada Muhammad SAW.
Menurut Al-Asy-‘ari, kata “ Al-Qur’an” diambil dari kata “qarana” yang berarti menggabungkan. Karena Al-Qur’an merupakan gabungan ayat-ayat dan surat-surat.
Menurut istilah, Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada rasul-Nya. Muhammad SAW dengan bahasa arab, yang diriwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf (Syarmin S., 1993: 27).
2.1.2 Nama-nama Al-Qur’an
Nama bagi al-Qur’an seperti yang disebutkannya sendiri bermacam-macam dan masing-masing nama itu mengandung arti makna tertentu, antara lain:
  1. Al-kitab artinya buku atau tulisan. Arti ini untuk mengingatkan kaum muslimin supaya membukukannya menjadi buku.
  2. Al-Qur’an artinya bacaan. Arti ini untuk mengingatkan supaya ia dipelihara/dihafal bacaannya diluar kepala.
  3. Al-Furqan artinya pemisah. Arti ini mengungatkan supaya dalam mencari garis pemisah antara kebenaran dan kebathilan, yang baik dan buruk haruslah daripadanya atau mempunyai rujukan padanya.
  4. Huda artinya petunjuk. Arti ini mengingatkan bahwa petunjuk tentang kebenaran hanyalah petunjuk yang diberikannya atau yang mempunyai rujukan kepadanya,
  5. Al-Zikr artinya ingat. Arti ini menunjukkan bahwa ia berisikan peringatan dan agar selalu diingat tuntunannya dalam melakukan setiap tindakan.
Dia adalah klamullah yang diturunkan kepada Nabi SAW. Dalam bahasa arab, riwayatnya mutawir. Oleh karena itu terjemahan Al-Qur’an tidak disebut Al-Qur’an dan orang yang mengingkarinya baik secara keseluruhan maupun bagian rinciannya, dipandang kafir ( Sulaiman A., 1995: 9)
Dia merupakan sendi fundamental dan rujukan pertama bagi semua dalil dan hukum syari’at, merupakan Undang-Undang Dasar, sumber dari segala sumber dan dasar dari semua dasar. Hal ini sudah merupakan kesepakatan seluruh Ulama Islam. Dan Al-Qur’anulkarim berfungsi sebagai pembeda untuk membedakan dan memilih antara yang benar dan yang salah, antara yang hak dan bathil ( Abdurrahman, 1993: 35).
2.1.3 Kekhususan dan Keistimewaan Al-Qur’an
Al-Qur’an mempunyai kekhususan dan keistimewaan dari kitab-kitab lainnya. Apabila ada sesuatu yang bertentangan dengan keistimewaan Al-Qur’an nanti, maka ia tidak bias dikategorikan sebagai Al-Qur’an. Kekhususan dan keistimewaan Al- Qur’an tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Bahwa Al-Qur’an, baik kalimat dan maknanya, datang dari Allah SWT dan rasul SAW dalam hal ini tidak lain hanyalah menyampaikan saja kepada manusia. Ia diturunkan Allah melalui malaikat Jibril, dengan kalimat yang sama persis dengan yang ada sekarang ini. Oleh karena itu, tidak boleh kita meriwayatkan dengan maknanya. Artinya sama pengertiannya, tetapi kalimatnya berbeda. Sebab yang demikian, bukanlah Al-Qur’an namanya. Lantaran itu semua, maka Al-Qur’an berbeda dengan hadits baik hadits qudsi maupum hadits nabawi. Sebab, semua hadits yang dating dari Rasulullah SAW, baik lafadz maupun susunan kalimatnya yang disimpulkan dari berbagai makna yang diilhamkan dan diwahyukan Allah pada beliau. Lafadz dan makna Al-Qur’an dating dari Allah, sedangkan hadits maknanya dari Allah, tapi lafadznya dari Rasullullah SAW.
b.      Al-Qur’an diturunkan kepada rasulullah SAW dengan lafadz dan ushlub (gaya bahasa) bahasa arab. Dalam hal ini Allah berfirman:
https://ienn4ya.files.wordpress.com/2010/11/12.jpg?w=300&h=71
Artinya: “ sesungguhnya kami jadikan Al-Qur’an dalam bahasa arab supaya  kamu memahaminya”. (QS. Az-zhuhruf: 3)
Dan tidaklah tercela jika dalam kearaban Al-Qur’an terkandung sebagian lafadz-lafadz yang jarang adanya(asing), yang oleh sebagian ulama dipandang bukan bahasa arab tetapi hal ini tidaklah membuat cacatnya sebagai bahasa arab. Sepeti lafadz”   ”bagi lobang dan
https://ienn4ya.files.wordpress.com/2010/11/0.jpg?w=300&h=230
https://ienn4ya.files.wordpress.com/2010/11/00.jpg?w=300&h=144
 







“     ” bagi singa. Sebab, lafadz-lafadz ini disamping jarang disebut juga telah dimasukkan bangsa arab kedalam bahasa arab dan bahasa bahasa tersebut diambil dari sebagian suku oleh sebagian suku arab lainnya.
c.       Bahwa Al-qur’an telah diriwayatkan dengan cara mutawatir yang memfaedahkan ilmu yang iath’I (pasti)dan yakin lantaran periwayatan dan ketetapannya yang sah.ia telah dipelihara dalam berbagai hati dan dada, bukan sekedar dalam mushhaf dan tulisan-tulisan saja. Ia telah dipindahkan kepada kaum muslimin diberbagai Negara dan berbagai bangsa, tanpa ada perbedaan dan keraguan diantara mereka dan tanpa ada perubahan dan pergantian (Syarmin S., 1993: 28-32).
Allah berfirman:
https://ienn4ya.files.wordpress.com/2010/11/2.jpg?w=300&h=68
Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

2.1.4 Kemu’jizatan Al-Qur’an
Telah dijelaskan bahwa Al-Qur’an adalah datang dari Allah yang dapat melemahkan kemampuan manusia untuk menciptakan sesuatu ayat yang serupa dengannya.
Sesungguhnya mu’jizat Nabi SAW adalah Al-Qur’an, yaitu mu’jizat maknawi, bukan mu’jizat materi yang dapat di indra, seperti mu’jizat Nabi Isa yang dapat menyembuhkan buta dan penyakit sopak, nabi Musa yang dapat merubah tongkat menjadi ular berjalan. Sehingga  dengan demikian mu’jizat beliau tetap berlaku sampai akhir zaman, yang membawa bukti-bukti kebenaran akan kerasulan beliau sejak dahulu hingga hari kiamat nanti, yaitu sesuatu yang cocok dan sesuai dengan keumuman dan keabadian risalah. Meskipun ada juga mu’jizat Nabi SAW yang berupa sesuatu yang diindra, tetapi tidaklah dapat disaksikan kecuali orang-orang yang ada pada masa beliau yang turut menyaksikannya. Orang-orang yang ada sesudah masa beliau tidaklah mengetahui kecuali hanya mendengar saja. Maka itu bukti mu’jizat yang kekal. Yaitu mu’jizat yang selalu disaksikan manusia sampai hari kiamat.
Allah berfirman :
https://ienn4ya.files.wordpress.com/2010/11/3.jpg?w=300&h=74
Artinya :”Dan orang-orang kafir mekkah berkata :’Mengapa tidak menurunkan  kepadanya mu’jizat-mu’jizat dari tuhannya ?” Katakanlah :’Sesungguhnya mu’jizat-mu’jizat iru terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata”. (QS. Al Ankabut : 50)
(Syarmin S., 1993: 35-37).
2.1.5 Segi-Segi Kemu’jizatan Al-Qur’an
Berikut ini akan kami kemukakan sebagian segi-segi kemu’jizatan Al-Qur’an :
  1. kebalaghoan dan kefashahan Al-Qur’an amat tinggi. Ia menghimpun aturan-aturan yang menakjubkan dan mengandung makna-makna yang cukup tinggi serta makna yang sangat kuat dalam mempengaruhi jiwa. Mudah dihafal, ringan dibaca. Mengandung berbagai bentuk ungkapan menurut tempat dan keadaan. Oleh karena itu, ayat-ayat makiyah pendek-pendek, mengandung ajaran aqidah dan keimanan. Sedang ayat-ayat madaniyah umumnya panjang-panjang, yang menjelaskan berbagai hokum peraturan, keras dalam mempertakuti dan mengancam serta menyenangkan dalam mendorong untuk melaksanakan suatu perbuatan.
  2. hukum dan makna-maknanya teratur, saling merangkai satu sama lain. Oleh karena itu tidak ada pertentangan satu makna atas satu hokum dengan makna atau hokum yang lainnya atau satu ayat dengan ayat yang lain. Seandainya ia tidak datang dari Allah, pasti akan didapati pertentangan yang cukup banyak.
  3. Al-Qur’an memberitakan tentang peristiwa (kejadian) yang telah lalu pada kurun masa yang telah lewat.
  4. Al-Qur’an memberitakan perkara-perkara yang akan datang, seperti :
·         Al-Qur’an telah menjanjikan kemenangan kepada kaum Muslimin dalam perang badar Kubra.
·         Al-Qur’an menjajikan kepada kepada kaum Muslimin tentang terbukanya kota Mekkah
·         Al-Qur’an telah memberitakan tentang kehinaan yang akan menimpa kaum Yahudi pada segala zaman sampai datangnya hari Qiamat.
  1. Al-Qur’an mengandung berbagai rahasia alam dan hakekat ala mini, yang tidak henti-hentinya ilmu mengungkapkan kepada kita setiap hari dengan penemuan-penemuan baru yang membuktikan bahwa Al-Qur’an ini datang dari sisi Allah, yang meliputi ilmu segaa sesuatu.
  2. Al-Qur’an mengandung syari’at islam yang hokum-hukumnya mengatur berbagai hubungan manusia, yang merupakan aturan yang luas dan tegas, elastic dan cocok disegala tempat, untuk merealisir kemaslahatan dan kenaikan manusia.
  3. Al-Qur’an tetap dan kekal, terpelihara dan tidak pernah berubah, karena selalu dibaca baik dengan cara terang-terangan atau tersembunyi (Syarmin S., 1993: 38-50).
2.1.6 Petunjuk Al-Qur’an Kepada Maksudnya
Ada 4 prinsip dasar yang umum dalam memahami makna Al-Qur’an, yaitu:
a.       Qur’an merupakan keseluruhan syari’at dan sendinya yang fundamental. Setiap orang yang ingin mencapai hakekat agama dan    dasar-dasar syari’at, haruslah menempatkan Al-Qur’an sebagai pusat/ sumbuh tempat berputarnya semua dalil yang lain dan sunnah sebagai pembantu dalam memahaminya demikian juga pendapat imam-imam terdahulu dan salafushshalihin yang lalu.
b.      Sebagaian besar ayat-ayat hukum turun karena ada sebab yang menghendaki penjelasannya. Ada dua alasan mengapa harus mengetahuinya:
1.      faktor untuk mengetahui kei’jazan Al-Qur’an itu bertumpu pada pengetahuan tentang tuntutan situasi, baik situasi pembicaraan orang yang berbicara maupun orang yang menjadi sasaran pembicaraan, baik secara alternative ataupun kumulatif sekaligus.
2.      kejahilan akan sebab-sebab nujul dapat menjerumuskan ke jurang keraguan dan menempatkan nash yang zhohir ke tempat ijmal, sehingga terjadilah perbedaan pendapat.
c.       Setiap berita kejadian masa lalu yang diungkapkan Al-Qur’an, jika terjadi penolakannya baik sebelum atau sesudahnya, maka penolakan tersebut menunjukkan secara pasti bahwa isi berita itu sudah dibatalkan.
Diantara contohnya ialah ayat yang berbunyi:
https://ienn4ya.files.wordpress.com/2010/11/5.jpg?w=300&h=34
Artinya: “ketika mereka mengatakan Allah tidak pernah menurunkan sesuatu kepada manusia”.
Kemudian diiringi oleh firman Allah:
https://ienn4ya.files.wordpress.com/2010/11/4.jpg?w=300&h=78
Artinya: “ katakan kepada mereka siapakah yang menurunkan kitab yang dibawa oleh Musa untuk menjadi cahaya dan petunjuk bagi manusia”.
  1. Kebanyakan hukumhukum yang diberitahukan oleh Al-Qur’an bersifat kully ( pokokyang berdaya cukup luas) tidak rinci ( disebutkan setiap peristiwa, objektif) seperti terungkap dari penelitian. Oleh karena itu diperlukan penjelasan dari sunnah rosul karena memang kebanyakan sunnah merupakan penjelasan bagi Al-Qur’an (Sulaiman A., 1995: 14-19).

2.2 HADISTS
2.2.1 Pengertian Hadist
Menurut bahasa hadis memiliki beberapa arti, yaitu :
  1. Jadid yang berarti dekat.
  2. Khabar yang berarti berita atau warta.
  3. Qarib yang berarti dekat.
Dari ketiga makna hadists tersebut, yang memiliki makna paling dekat dengan hadists dalam islam adalah khabar. Menurut istilah , hadists juga memiliki beberapa makna yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan pandangan para ulama.
Menurut ahli hadist, hadists adalah semua yang datang dari Nabi saw yang berupa ucapan, perbuatan, ataupun taqrir beliau. Sedangkan menurut ahli ushul segala pekataan Rosul, perbuatan dan taqrir beliau, yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i.
Berdasarkan pengertian hadists menurut ahli ushul, maka hadists dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
  1. hadists qouliyah : adalah hadists yang berupa perkataan
  2. hadists fi’liyah : adalah hadists yang berupa perbuatan
  3. hadists taqririyah : adalah ketetapan atau persetujuan rasulullah terhadap apa saja yang muncul dari tindakan sahabat beliau.
Sedangkan perkataan dan perkataan Nabi saw yang tidak termasuk hadists dapat dijadikan sebagai dalil/hukum, kecuali yang berkaitan dengan syariat dan merupakan petunjuk bagi umat beliau.
Berikut ini adalah perbuatan nabi saw yang tidak termasuk hadists.
  1. Segala yang timbul dari nabi saw karena didorong oleh tabiat kemanusiaannya atau kebiasaan kaumnya.
  2. Segala sesuatu yang berasal dari nabi saw karena keinginan beliau mencoba hal-hal duniawi.
  3. Segala yang telah ditunjukkan dalil bahwa itu adalah kekhususan rasulullah.
2.2.2 Meriwayatkan Hadists Dengan Makna
Meriwayatkan hadists berbeda dengan meriwayatkan Al-Qur’an, beberapa hadists dapat diriwayatkan dengan makna. Artinya meskipun sedikit berbeda pelafalan dan pengucapannya asalkan memiliki arti yang sama maka dihalalkan.
Disamping itu ada juga hadists yang bersifat taabudi (tidak boleh dirubah) dalam pelafalannya, seperti hadists tentang adzan, tasyahhud, dan sebagainya.
2.2.3 Kehujjahan Al-Hadists
Hadists adalah dalil kedua yang digunakan sebagai acuan beristimbat hukum syari’ah sesudah Al-Qur’an. Banyak dalil yang menegaskan kehujjahannya, diantaranya:
a.       Ayat-ayat Al-Qur’an yang  memerintahkan untuk taat kepada rasulullah.
https://ienn4ya.files.wordpress.com/2010/11/6.jpg?w=300&h=44
Artinya : “taatlah kamu sekalian kepada Allah dan rasul(Nya) dan Ulil Amri diantara kamu…..”(An-nisa :59)
https://ienn4ya.files.wordpress.com/2010/11/7.jpg?w=300&h=55
Artinya : “apa yang diberikan R asul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tingggalkanlah…..”(Al-Mujadilah : 13)
b.      Al-Qur’an sebagai undang-undang dasar bagi hukum wadhi’I yang menetapkan berbagai ketetapan secara global. Seperti firman Allah:
https://ienn4ya.files.wordpress.com/2010/11/91.jpg?w=300&h=52
Artinya: “kerjakanlah shalat dan berikanlah zakat…”
https://ienn4ya.files.wordpress.com/2010/11/9.jpg?w=300&h=82
Artinya: “telah diwajibkan atas kamu berpuasa…”
Hadist juga merupakan penjelasan daripada ketetapan-ketetapan Allah yang bersifat umum.
Al-Auzai berkata : “Al-Qur’an itu berhajat kepada hadists, dan hadists berhajat kepada Al-Qur’an.”
Sebagai contoh, Al-hadists Nabawiyah telah menjelaskan jumlah rekaatshalat, waktunya, syarat dan rukun-rukunnya, serta tata caranya.
c.       Al-Qur’an telah menetapkan bahwa perkataan rasul Allah saw hakekatnya datang dari sisi Allah juga. Allah berfirman :
Artinya : “dan tiadalah yang diucapkan (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain ada;lah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (Al-Najm : 3-4)
Itulah dalil-dalil yang menerangkan bahwa hadists datang dari sisi Allah dan wajib diamalkan.
Imam Syafi’i berkata : “apabila rasul menjelaskan ayat dalam Al-Qur’an, maka penjelasan itu sebenarnya datang dari Allah. Dan Allah menetapkan hukum dalam Al-Qur’an menurut penjelasan rasul-Nya. Orang islam tidak boleh keluar dari kitab (Al-Qur’an). Begitu juga tidak boleh keluar daripenjelasan yang dijelaskan oleh rasul-Nya. Sebab nash atau penjelasan itu datangnya dari Allah juga.
2.2.4 Kedudukan Hadists Dalam Beristidlal
Sebagai dasar hukum bagi kaum muslimin, kedudukan hadists berada di urutan kedua setelah Al-Qur’an, alasannya adalah :
  1. Bahwa Al-Qur’an adalah qoth’iyatus tsubut, sedangkan hadist dhoniyatus tsubut dalam banyak hal. Maka dalil qath’i harus didahulukan atas dalildhonni
  2. Bahwa hadists adalah penjelasan Al-Qur’an, maka sudah seharusnya jika penjelasan ada dibelakang hal yang dijelaskan.
  3. Muadz bin Jabal telah meriwayatkan bahwa rasulullah saw ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepadanya. “apa yang kau perbuat jika dihadapkan pada suatu perkara?” Ia berkata, “aku putuskan dengan hukum yang ada dalam Al-Qur’an.” Nabi bertanya lagi, “jika tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an?” Ia menjawab, “maka akan aku putuskan berdasarkan sunah rasulullah.” Nabi beratanya lagi, “jika tidak ada hukumnya dalam As-sunnah?” Ia menjawab, “aku akan berijtihad dengan pendapatku.” Lalu Muadz berkata: “kemudian Rasulullah saw menepuk dadaku dan berkata, “segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik pada utusan rasulNya, demi keridhaan allah dan RasulNya.
2.2.5 Hubungan Antara Hukum Qur’aany Dan Hukum Sunniyah
Ada tiga macam hubungan antara hukum dalam hadists dan hukaum dalam al-quran.
a.    Hukum-hukum yang serasi atau sesuai dengan hukum yang ada dalam al-quran, dalam hal ini hadists hanya berfungsi sebagai penguat atas hukum yang sudah ada dalam al-quran.
b.    Hukum-hukum yang menjelaskan apa yang ada dalam al-quran, dengan cara:
1.      Memerinci yang mujmal, seperti seperti amaliya Rasulullah tentang tata cara shalat dan sebagainya.
2.      Mentakhsis atau memberi perincian bagi hukum yang umum.
2.3 I J M A ’
2.3.1 Definisi Ijma’
Menurut bahasa, ijma’ mempunyai dua arti, yaitu :
a.       Kesepakatan
b.      Kebulatan tekad atau niat.
Dari memperhatikan definisi diatas, maka fahamlah kita bahwa tidak dinamakan ijma’ jika tidak terdapat padanya. Unsur-unsur berikut ini:
a.       Kesepakatan para mujtahid.
b.      Ijma’ harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid
c.       Hendaknya kesepakatan itu berasal dari seluruh kesepakatan mujtahid yang ada pada masa terjadinya masalah fiqhiyah dan pembahasan hukumnya itu
d.      Kesepakan para mujtahid itu hendaknya harus terjadi sesudah wafat rosulullah saw.
e.       Kesepakan itu hendaknya dinyatakan masing-masing mujtahid dengan terang dan tegas pada suatu waktu.
f.       Hendaknya kesepakan para mujtahid diatas satu pendapat itu, benar-benar sepakat lahir dan batin, bukan formalnya saja. Betul-betul terjadi kebulatan pendapat atau suatu hukum.
2.3.2 Ijma’ Mayoritas
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ tidak terjadi, jika kessepakatan itu oleh mayoritas mujtahid saja, tetapi suara minoritasnya menantang. Hal ini disebabkan karena dalil-dalil yang kuat bagi kehujjan ijma’ adalah untukmemelihara ummat seluruhnya, bukan untuk sebagian besarnya saja.
Ibnu jarir ath-Thabariy, abu bakar ar-razi, abul husain al-khayyatiy dari kalangan ulama mu’tazilah dan ahmad bin hambal dalam salah satu riwayatnya berpendapat bahwa ijma’ dapat terjadi dengan suara mayoritas dapat dijadikan hujah, tetapi tidak dinamakan ijma’.
2.3.3 Ijma Mujtahid Madinah
Imam malik menganggap ijma’ terhadap kesepakatan para mujtahid madinah dari kalangan sahabat saja.  Berdasarkan hadis Rosulullah saw:
Artinya: “sesungguhnya (mujtahid) madinah itu seperti dapur tukang besi, yang dapat menghilangkan kotoran dan karatnya.
Hadis ini menurut beliau menunjukkan bahwa pendapat mujtahid benar tidak mengandung kesalahan. Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak bisa terjadi ijma’ dengan kesepakatan mujahid Madinah saja. Sebab mereka adalah seperti mujtahid-mujtahid dari kota islam lainnya. Sedangkan hadist diatas, hanya menunjukkan keberkatan madinah, tidak menunjukkan kemaksuman penduduknya.
2.3.4 Ijma’ Ahlul Bait
Ahlul Bait adalah semua orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan nabi saw. Ulama syi’ah berpendapat bahwa ijma’ dapat terjadi dengan adanya kesepakatan keluarga nabi saw. Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak bisa terjadi ijma’ dengan kesepakatan ahli bait saja. Sebab, mereka tidaklah terpelihara dari kesalahan.
2.3.5 Ijma’ Sukuti
Ijma’ dimana masing-masing mujtahid yang berkumpul menyatakan pendapatnya dengan terang dan jelas di sebut ijma’ sharih (ijma’ secara terang-terangan), karena masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya dengan terang. Ijma’ demikianlah yang diakui kebenarannya oleh jumhur ulama
2.3.6 Ijma’ Murakkab
Jumhur ulama menyatakan bahwa dalil ijthiad pada suatu masa apabila mereka terbagi menjadi dua golongan besar dalam masalah hukum islam, dimana masing-masingnya mempunyai pendapat yang berbeda satu sama lain. Maka, bagi orang yang datang sesudahnya tidak boleh mendatangkan hukum baru yang merupakan hasil ijtihadnya, yang bertentanggan dengan pendapat kedua golongan yang mendahuluinya.
2.3.7 Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Ulama Mu’tazilah dan Syiah berpendapat bahwa ijma’ dalam bentuk yang dikemukakan oleh jumhur ulama, tidak mungkin terjadi secara adat kebiasaan. Alasan mereka adalah sebagai berikut:
a.       Bahwa untuk mengetahui kriteria mujtahid adalah sangat sulit. Sebab, tidak adanya ukuran yang di sepakati untuk membedakan antara mujtahid dan yang bukan mujtahid.
b.      Bahwa para mujtahid berserakan tempatnya di berbagai negara dan benua yang berjauhan.
c.       Bahwa ijma’ tidak diperlukan kecuali jika, tidak ada dalil qath’i. artinya bahwa ijma’ itu tidak ada melainkan dari dalil yang dhoni.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ itu mungkin terwujud dan terjadinya, dengan alasan bahwa hal itu secara realiatas pernah terjadi.
2.3.8 Kehujjahan ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah merupakan hujjah yang wajib diamalkan. Semntara itu An Nadhdham. Sebagian ulama Khawarid dan Syi’ah tidak mengakui kehujjahannya.
Dalil-dalil yang mndukung pndapat jumhur adalah:
firman ALLAH :
Artinya: dan barang siapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah di kuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam….”(An-Nisa’ : 115)
2.3.9 Menyandarkan Ijma’ Kepada Qiyas Atau Kepada Maslahat
Para ulama berselisih pendapat tentang bolehnya menyandarkan ijma’ kepada qiyas. Sebagian mereka berpendapat bahwa tidak ada kemaslahatan sama sekali menyandarkan ijma’ kepada qiyas sebab, kehujjahan qiyas tidak disepakati para ulama.
Sebagian ulama telah mengemukakan sebagian contoh ijma’ yang ditegakkan diatas masalahah mursalah, yaitu ijma’ sahabat tentang pengumpulan al-Quran dalam satu mushaf, sesudah Abu Bakar meragukan hal itu.
Dari memperhatikan keterangan diatas maka dapat difahamkan bahwa kesepakatan mereka menghimpun al-Quran adalah berdasarkan masalahat yang telah dijelaskan oleh Umar ra.
2.3.10 Penaskhan Ijma’
Apabila terjadi ijma’ pada suatu masa, maka tidak boleh di batalkan dan dihapus oleh orang-orang yang telah berijma’ kepadanya itu sebab ijma’ mereka yang pertama menjadi hujjah syariah qath’iah, yang wajib mereka amalkan. Dan sebaliknya, tidak boleh mereka langgar.
Pendapat ulama bahwa ijma’ itu terjadi karena suatu kesepakatan para mujtahid dalam masa hidup mereka, bukan ketika mereka sudah mati, namun sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa boleh para mujtahid membetulkan pendapatnya yang telah lalu, jika menurut mereka pendapatnya yang lalu itu terdapat kesalahan.
Dan telah jelas pndapat yang tidak membolehkan perubahan hukum yang telah di ijma’I adalah jika ijma’ itu disandarkan kepada kitab al-Quran, sunnah dan qiyas.






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Hukum Islam merupakan hukum ke-Tuhanan. Ini merupakan dalil pokok dan merupakan jalan untuk mengetahui hukum-hukum ini. Maka Al-Quran, yakni firman Allah adalah merupakan jalan pertama untuk mengetahui hukum-hukum-Nya. Alasan bahwa Al-Quran adalah hujjah bagi umat manusia dan bahwa hukum yang dikandungnya adalah undang-undang yang harus ditaati, karena Al-Quran diturunkan langsung dari Allah dan diterima oleh manusia dari Allah dengan cara yang pasti, tidak diragukan lagi kebenarannya.
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-Quran dari segi wurud (kedatangan) dan tsubut (penetapannya) adalah qath’i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushafnya, yang tidak ada pada qiraahnya mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran terhadap Al-Quran yang didengar dari Nabi SAW.
Hal ini disebabkan bahwa sumber hukum yang merupakan objek bahasan ushul fiqih yang diyakini dari Allah SWT, berbentuk Al-Quran dan As-Sunnah.setelah itu ijma’ dan qiyas sebagai penguat sumber hukum islam. Sebagaimana telah kita ketahui yang dimaksud ijma menurut syara’ itu antara lain adanya kesepakatan dari semua mujtahid yang hidup dalam satu masa tentang ketetapan hukum syara’. Para ulama yang menetapakan kekuatan qiyas sebagai hujjah dengan mengambil dalil al-Quran.




DAFTAR PUSTAKA

Syukur, Syarmin. 1993. Sumber-sumber Hukum Islam. Surabaya: “AL-IKHLAS”
Abdullah, Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
I.Doi, Abdur Rahman. 1993. Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam. Jakarta: Rineka   Cipta.
Wahhab, Khallaf Abdul. Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Aman, 2003
Syafe’i Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung:Pustaka Setia ,2007
Syamin, SyukurSumber-Sumber Hukum Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993