BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah
kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada umat manusia melalui Nabi
Muhammad saw untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Petunjuk-petunjuk yang
dibawanya pun dapat menyinari seluruh isi alam ini. Sebagai kitab bidayah
sepanjang zaman, al-Qur’an memuat informasi-informasi dasar tentang berbagai
masalah, baik informasi tentang hukum, etika, kedokteran dan sebagainya.
Hal ini merupakan
salah satu bukti tentang keluasan dan keluwesan isi kandungan al-Qur’an
tersebut. Informasi yang diberikan itu merupakan dasar-dasarnya saja, dan
manusia lah yang akan menganalisis dan merincinya, membuat keautentikan teks
al-Qur’an menjadi lebih tampak bila berhadapan dengan konteks persoalan-persoalan
kemanusiaan dan kehidupan modern.
Dalam kaitannya
antara nisbat As-sunnah terhadap Al-Quran, para ulama telah sepakat bahwa
As-Sunnah berfungsi menjelaskan apa yang terdapat dalam Al-Quran dan juga
sebagai penguat. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kedudukan
As-Sunnah terhadap Al-Quran apabila As-Sunnah itu tidak sejalan dengan zhahir
ayat Al-Quran.
Para ulama
menetapkan bahwa Ijma menduduki peringkat ketiga setelah al-Quran dan Hadis
Nabi. Namun demikian suatu ijma tidak boleh menyalahi Nash al-Quran dan Hadis
yang bersifat qath’I (nash yang sudah jelas, gamblang dan tidak membutuhkan
penafsiran).
Seluruh ulama
sepakat bahwa “Ijma’ shorih” dapat dijadikan sebagai hujjah / dasar pijakan
hukum. Namun demikian mereka berbeda pendapat mengenahi “ijma’ sukuti”.
1.2
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah
ini adalah untuk mengetahui tentang Al-Quran, Al-hadist dan Ijma’
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Al-Qur’an
2.1.1 Pengertian Al-Qur’an
Mengenai asal kata “Al-Qur’an” para
ulama berselisih pendapat. Menurut Asy-Syafi’i kata “ Al-Qur’an” utu ditulis
dan dibaca tanpa hamzah (Al-Qur’an). Ia tidak berasal dari suatu kata, tetapi
ia merupakan sebutan khusus bagi kitab suci yang diberikan kepada Muhammad SAW.
Menurut Al-Asy-‘ari, kata “
Al-Qur’an” diambil dari kata “qarana” yang berarti menggabungkan. Karena
Al-Qur’an merupakan gabungan ayat-ayat dan surat-surat.
Menurut istilah, Al-Qur’an adalah
kalam Allah yang diturunkan kepada rasul-Nya. Muhammad SAW dengan bahasa arab,
yang diriwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf (Syarmin S., 1993:
27).
2.1.2 Nama-nama Al-Qur’an
Nama bagi al-Qur’an seperti yang
disebutkannya sendiri bermacam-macam dan masing-masing nama itu mengandung arti
makna tertentu, antara lain:
- Al-kitab
artinya buku atau tulisan. Arti ini untuk mengingatkan kaum muslimin
supaya membukukannya menjadi buku.
- Al-Qur’an
artinya bacaan. Arti ini untuk mengingatkan supaya ia dipelihara/dihafal
bacaannya diluar kepala.
- Al-Furqan
artinya pemisah. Arti ini mengungatkan supaya dalam mencari garis pemisah
antara kebenaran dan kebathilan, yang baik dan buruk haruslah daripadanya
atau mempunyai rujukan padanya.
- Huda
artinya petunjuk. Arti ini mengingatkan bahwa petunjuk tentang kebenaran
hanyalah petunjuk yang diberikannya atau yang mempunyai rujukan kepadanya,
- Al-Zikr
artinya ingat. Arti ini menunjukkan bahwa ia berisikan peringatan dan agar
selalu diingat tuntunannya dalam melakukan setiap tindakan.
Dia adalah klamullah yang diturunkan
kepada Nabi SAW. Dalam bahasa arab, riwayatnya mutawir. Oleh karena itu
terjemahan Al-Qur’an tidak disebut Al-Qur’an dan orang yang mengingkarinya baik
secara keseluruhan maupun bagian rinciannya, dipandang kafir ( Sulaiman A.,
1995: 9)
Dia merupakan sendi fundamental dan
rujukan pertama bagi semua dalil dan hukum syari’at, merupakan Undang-Undang
Dasar, sumber dari segala sumber dan dasar dari semua dasar. Hal ini sudah
merupakan kesepakatan seluruh Ulama Islam. Dan Al-Qur’anulkarim berfungsi
sebagai pembeda untuk membedakan dan memilih antara yang benar dan yang salah,
antara yang hak dan bathil ( Abdurrahman, 1993: 35).
2.1.3 Kekhususan dan Keistimewaan
Al-Qur’an
Al-Qur’an mempunyai kekhususan dan
keistimewaan dari kitab-kitab lainnya. Apabila ada sesuatu yang bertentangan
dengan keistimewaan Al-Qur’an nanti, maka ia tidak bias dikategorikan sebagai
Al-Qur’an. Kekhususan dan keistimewaan Al- Qur’an tersebut adalah sebagai
berikut:
a.
Bahwa
Al-Qur’an, baik kalimat dan maknanya, datang dari Allah SWT dan rasul SAW dalam
hal ini tidak lain hanyalah menyampaikan saja kepada manusia. Ia diturunkan
Allah melalui malaikat Jibril, dengan kalimat yang sama persis dengan yang ada
sekarang ini. Oleh karena itu, tidak boleh kita meriwayatkan dengan maknanya.
Artinya sama pengertiannya, tetapi kalimatnya berbeda. Sebab yang demikian,
bukanlah Al-Qur’an namanya. Lantaran itu semua, maka Al-Qur’an berbeda dengan
hadits baik hadits qudsi maupum hadits nabawi. Sebab, semua hadits yang dating
dari Rasulullah SAW, baik lafadz maupun susunan kalimatnya yang disimpulkan dari
berbagai makna yang diilhamkan dan diwahyukan Allah pada beliau. Lafadz dan
makna Al-Qur’an dating dari Allah, sedangkan hadits maknanya dari Allah, tapi
lafadznya dari Rasullullah SAW.
b.
Al-Qur’an
diturunkan kepada rasulullah SAW dengan lafadz dan ushlub (gaya bahasa) bahasa
arab. Dalam hal ini Allah berfirman:
Artinya: “ sesungguhnya kami
jadikan Al-Qur’an dalam bahasa arab supaya kamu memahaminya”. (QS.
Az-zhuhruf: 3)
Dan tidaklah tercela jika dalam
kearaban Al-Qur’an terkandung sebagian lafadz-lafadz yang jarang adanya(asing),
yang oleh sebagian ulama dipandang bukan bahasa arab tetapi hal ini tidaklah
membuat cacatnya sebagai bahasa arab. Sepeti lafadz” ”bagi lobang dan
![]() |
|||
![]() |
|||
“ ”
bagi singa. Sebab, lafadz-lafadz ini disamping jarang disebut juga telah
dimasukkan bangsa arab kedalam bahasa arab dan bahasa bahasa tersebut diambil
dari sebagian suku oleh sebagian suku arab lainnya.
c.
Bahwa
Al-qur’an telah diriwayatkan dengan cara mutawatir yang memfaedahkan ilmu yang
iath’I (pasti)dan yakin lantaran periwayatan dan ketetapannya
yang sah.ia telah dipelihara dalam berbagai hati dan dada, bukan
sekedar dalam mushhaf dan tulisan-tulisan saja. Ia telah dipindahkan kepada
kaum muslimin diberbagai Negara dan berbagai bangsa, tanpa ada perbedaan dan
keraguan diantara mereka dan tanpa ada perubahan dan pergantian (Syarmin S.,
1993: 28-32).
Allah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.
2.1.4 Kemu’jizatan Al-Qur’an
Telah dijelaskan bahwa Al-Qur’an
adalah datang dari Allah yang dapat melemahkan kemampuan manusia untuk
menciptakan sesuatu ayat yang serupa dengannya.
Sesungguhnya mu’jizat Nabi SAW
adalah Al-Qur’an, yaitu mu’jizat maknawi, bukan mu’jizat materi yang dapat di
indra, seperti mu’jizat Nabi Isa yang dapat menyembuhkan buta dan penyakit
sopak, nabi Musa yang dapat merubah tongkat menjadi ular berjalan. Sehingga
dengan demikian mu’jizat beliau tetap berlaku sampai akhir zaman, yang membawa
bukti-bukti kebenaran akan kerasulan beliau sejak dahulu hingga hari kiamat
nanti, yaitu sesuatu yang cocok dan sesuai dengan keumuman dan keabadian
risalah. Meskipun ada juga mu’jizat Nabi SAW yang berupa sesuatu yang diindra,
tetapi tidaklah dapat disaksikan kecuali orang-orang yang ada pada masa beliau
yang turut menyaksikannya. Orang-orang yang ada sesudah masa beliau tidaklah
mengetahui kecuali hanya mendengar saja. Maka itu bukti mu’jizat yang kekal.
Yaitu mu’jizat yang selalu disaksikan manusia sampai hari kiamat.
Allah berfirman :
Artinya :”Dan orang-orang kafir
mekkah berkata :’Mengapa tidak menurunkan kepadanya mu’jizat-mu’jizat
dari tuhannya ?” Katakanlah :’Sesungguhnya mu’jizat-mu’jizat iru terserah
kepada Allah. Dan sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata”.
(QS. Al Ankabut : 50)
(Syarmin S., 1993: 35-37).
2.1.5 Segi-Segi Kemu’jizatan
Al-Qur’an
Berikut ini akan kami kemukakan
sebagian segi-segi kemu’jizatan Al-Qur’an :
- kebalaghoan
dan kefashahan Al-Qur’an amat tinggi. Ia menghimpun aturan-aturan yang
menakjubkan dan mengandung makna-makna yang cukup tinggi serta makna yang
sangat kuat dalam mempengaruhi jiwa. Mudah dihafal, ringan dibaca.
Mengandung berbagai bentuk ungkapan menurut tempat dan keadaan. Oleh
karena itu, ayat-ayat makiyah pendek-pendek, mengandung ajaran aqidah dan
keimanan. Sedang ayat-ayat madaniyah umumnya panjang-panjang, yang
menjelaskan berbagai hokum peraturan, keras dalam mempertakuti dan
mengancam serta menyenangkan dalam mendorong untuk melaksanakan suatu
perbuatan.
- hukum
dan makna-maknanya teratur, saling merangkai satu sama lain. Oleh karena
itu tidak ada pertentangan satu makna atas satu hokum dengan makna atau hokum
yang lainnya atau satu ayat dengan ayat yang lain. Seandainya ia tidak
datang dari Allah, pasti akan didapati pertentangan yang cukup banyak.
- Al-Qur’an
memberitakan tentang peristiwa (kejadian) yang telah lalu pada kurun masa
yang telah lewat.
- Al-Qur’an
memberitakan perkara-perkara yang akan datang, seperti :
·
Al-Qur’an
telah menjanjikan kemenangan kepada kaum Muslimin dalam perang badar Kubra.
·
Al-Qur’an
menjajikan kepada kepada kaum Muslimin tentang terbukanya kota Mekkah
·
Al-Qur’an
telah memberitakan tentang kehinaan yang akan menimpa kaum Yahudi pada segala
zaman sampai datangnya hari Qiamat.
- Al-Qur’an
mengandung berbagai rahasia alam dan hakekat ala mini, yang tidak
henti-hentinya ilmu mengungkapkan kepada kita setiap hari dengan
penemuan-penemuan baru yang membuktikan bahwa Al-Qur’an ini datang dari
sisi Allah, yang meliputi ilmu segaa sesuatu.
- Al-Qur’an
mengandung syari’at islam yang hokum-hukumnya mengatur berbagai hubungan
manusia, yang merupakan aturan yang luas dan tegas, elastic dan cocok
disegala tempat, untuk merealisir kemaslahatan dan kenaikan manusia.
- Al-Qur’an
tetap dan kekal, terpelihara dan tidak pernah berubah, karena selalu
dibaca baik dengan cara terang-terangan atau tersembunyi (Syarmin S.,
1993: 38-50).
2.1.6 Petunjuk Al-Qur’an Kepada
Maksudnya
Ada 4 prinsip dasar yang umum dalam
memahami makna Al-Qur’an, yaitu:
a.
Qur’an
merupakan keseluruhan syari’at dan sendinya yang fundamental. Setiap orang yang
ingin mencapai hakekat agama dan dasar-dasar syari’at,
haruslah menempatkan Al-Qur’an sebagai pusat/ sumbuh tempat berputarnya semua
dalil yang lain dan sunnah sebagai pembantu dalam memahaminya demikian juga
pendapat imam-imam terdahulu dan salafushshalihin yang lalu.
b.
Sebagaian
besar ayat-ayat hukum turun karena ada sebab yang menghendaki penjelasannya.
Ada dua alasan mengapa harus mengetahuinya:
1. faktor untuk mengetahui kei’jazan
Al-Qur’an itu bertumpu pada pengetahuan tentang tuntutan situasi, baik situasi
pembicaraan orang yang berbicara maupun orang yang menjadi sasaran pembicaraan,
baik secara alternative ataupun kumulatif sekaligus.
2. kejahilan akan sebab-sebab nujul
dapat menjerumuskan ke jurang keraguan dan menempatkan nash yang zhohir ke
tempat ijmal, sehingga terjadilah perbedaan pendapat.
c.
Setiap
berita kejadian masa lalu yang diungkapkan Al-Qur’an, jika terjadi penolakannya
baik sebelum atau sesudahnya, maka penolakan tersebut menunjukkan secara pasti
bahwa isi berita itu sudah dibatalkan.
Diantara contohnya ialah ayat yang
berbunyi:
Artinya: “ketika mereka
mengatakan Allah tidak pernah menurunkan sesuatu kepada manusia”.
Kemudian diiringi oleh firman Allah:
- Kebanyakan
hukumhukum yang diberitahukan oleh Al-Qur’an bersifat kully (
pokokyang berdaya cukup luas) tidak rinci ( disebutkan setiap peristiwa,
objektif) seperti terungkap dari penelitian. Oleh karena itu diperlukan
penjelasan dari sunnah rosul karena memang kebanyakan sunnah merupakan penjelasan
bagi Al-Qur’an (Sulaiman A., 1995: 14-19).
2.2 HADISTS
2.2.1 Pengertian Hadist
Menurut bahasa hadis memiliki
beberapa arti, yaitu :
- Jadid
yang berarti dekat.
- Khabar
yang berarti berita atau warta.
- Qarib
yang berarti dekat.
Dari ketiga makna hadists tersebut,
yang memiliki makna paling dekat dengan hadists dalam islam adalah khabar.
Menurut istilah , hadists juga memiliki beberapa makna yang berbeda yang
disebabkan oleh perbedaan pandangan para ulama.
Menurut ahli hadist, hadists adalah
semua yang datang dari Nabi saw yang berupa ucapan, perbuatan, ataupun taqrir
beliau. Sedangkan menurut ahli ushul segala pekataan Rosul, perbuatan dan
taqrir beliau, yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i.
Berdasarkan pengertian hadists
menurut ahli ushul, maka hadists dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
- hadists
qouliyah : adalah hadists yang berupa perkataan
- hadists
fi’liyah : adalah hadists yang berupa perbuatan
- hadists
taqririyah : adalah ketetapan atau persetujuan rasulullah terhadap apa saja
yang muncul dari tindakan sahabat beliau.
Sedangkan perkataan dan perkataan
Nabi saw yang tidak termasuk hadists dapat dijadikan sebagai dalil/hukum,
kecuali yang berkaitan dengan syariat dan merupakan petunjuk bagi umat beliau.
Berikut ini adalah perbuatan nabi
saw yang tidak termasuk hadists.
- Segala
yang timbul dari nabi saw karena didorong oleh tabiat kemanusiaannya atau
kebiasaan kaumnya.
- Segala
sesuatu yang berasal dari nabi saw karena keinginan beliau mencoba hal-hal
duniawi.
- Segala
yang telah ditunjukkan dalil bahwa itu adalah kekhususan rasulullah.
2.2.2 Meriwayatkan Hadists
Dengan Makna
Meriwayatkan hadists berbeda dengan
meriwayatkan Al-Qur’an, beberapa hadists dapat diriwayatkan dengan makna.
Artinya meskipun sedikit berbeda pelafalan dan pengucapannya asalkan memiliki
arti yang sama maka dihalalkan.
Disamping itu ada juga hadists yang
bersifat taabudi (tidak boleh dirubah) dalam pelafalannya, seperti hadists
tentang adzan, tasyahhud, dan sebagainya.
2.2.3 Kehujjahan Al-Hadists
Hadists adalah dalil kedua yang
digunakan sebagai acuan beristimbat hukum syari’ah sesudah Al-Qur’an. Banyak
dalil yang menegaskan kehujjahannya, diantaranya:
a.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan untuk taat kepada rasulullah.
Artinya : “taatlah kamu sekalian
kepada Allah dan rasul(Nya) dan Ulil Amri diantara kamu…..”(An-nisa :59)
Artinya : “apa yang
diberikan R asul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tingggalkanlah…..”(Al-Mujadilah : 13)
b.
Al-Qur’an sebagai undang-undang dasar bagi hukum wadhi’I yang menetapkan
berbagai ketetapan secara global. Seperti firman Allah:
Artinya: “kerjakanlah shalat
dan berikanlah zakat…”
Artinya: “telah diwajibkan
atas kamu berpuasa…”
Hadist juga merupakan penjelasan
daripada ketetapan-ketetapan Allah yang bersifat umum.
Al-Auzai berkata : “Al-Qur’an itu
berhajat kepada hadists, dan hadists berhajat kepada Al-Qur’an.”
Sebagai contoh, Al-hadists Nabawiyah
telah menjelaskan jumlah rekaatshalat, waktunya, syarat dan rukun-rukunnya,
serta tata caranya.
c.
Al-Qur’an telah menetapkan bahwa perkataan rasul Allah saw hakekatnya datang
dari sisi Allah juga. Allah berfirman :
Artinya : “dan tiadalah yang
diucapkan (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak
lain ada;lah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (Al-Najm : 3-4)
Itulah dalil-dalil yang menerangkan
bahwa hadists datang dari sisi Allah dan wajib diamalkan.
Imam Syafi’i berkata : “apabila
rasul menjelaskan ayat dalam Al-Qur’an, maka penjelasan itu sebenarnya datang dari
Allah. Dan Allah menetapkan hukum dalam Al-Qur’an menurut penjelasan rasul-Nya.
Orang islam tidak boleh keluar dari kitab (Al-Qur’an). Begitu juga tidak boleh
keluar daripenjelasan yang dijelaskan oleh rasul-Nya. Sebab nash atau
penjelasan itu datangnya dari Allah juga.
2.2.4 Kedudukan Hadists Dalam
Beristidlal
Sebagai dasar hukum bagi kaum
muslimin, kedudukan hadists berada di urutan kedua setelah Al-Qur’an, alasannya
adalah :
- Bahwa
Al-Qur’an adalah qoth’iyatus tsubut, sedangkan hadist dhoniyatus
tsubut dalam banyak hal. Maka dalil qath’i harus
didahulukan atas dalildhonni
- Bahwa
hadists adalah penjelasan Al-Qur’an, maka sudah seharusnya jika penjelasan
ada dibelakang hal yang dijelaskan.
- Muadz
bin Jabal telah meriwayatkan bahwa rasulullah saw ketika mengutusnya ke
Yaman bertanya kepadanya. “apa yang kau perbuat jika dihadapkan pada suatu
perkara?” Ia berkata, “aku putuskan dengan hukum yang ada dalam
Al-Qur’an.” Nabi bertanya lagi, “jika tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an?”
Ia menjawab, “maka akan aku putuskan berdasarkan sunah rasulullah.” Nabi
beratanya lagi, “jika tidak ada hukumnya dalam As-sunnah?” Ia menjawab,
“aku akan berijtihad dengan pendapatku.” Lalu Muadz berkata: “kemudian
Rasulullah saw menepuk dadaku dan berkata, “segala puji bagi Allah yang
telah memberikan taufik pada utusan rasulNya, demi keridhaan allah dan
RasulNya.
2.2.5 Hubungan Antara Hukum
Qur’aany Dan Hukum Sunniyah
Ada tiga macam hubungan antara hukum
dalam hadists dan hukaum dalam al-quran.
a. Hukum-hukum yang serasi atau sesuai
dengan hukum yang ada dalam al-quran, dalam hal ini hadists hanya berfungsi
sebagai penguat atas hukum yang sudah ada dalam al-quran.
b. Hukum-hukum yang menjelaskan apa
yang ada dalam al-quran, dengan cara:
1. Memerinci yang mujmal, seperti
seperti amaliya Rasulullah tentang tata cara shalat dan sebagainya.
2. Mentakhsis atau memberi perincian
bagi hukum yang umum.
2.3 I J M A ’
2.3.1 Definisi Ijma’
Menurut bahasa, ijma’ mempunyai dua
arti, yaitu :
a.
Kesepakatan
b.
Kebulatan
tekad atau niat.
Dari memperhatikan definisi diatas, maka fahamlah kita bahwa
tidak dinamakan ijma’ jika tidak terdapat padanya. Unsur-unsur berikut ini:
a.
Kesepakatan
para mujtahid.
b.
Ijma’
harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid
c.
Hendaknya
kesepakatan itu berasal dari seluruh kesepakatan mujtahid yang ada pada masa
terjadinya masalah fiqhiyah dan pembahasan hukumnya itu
d.
Kesepakan
para mujtahid itu hendaknya harus terjadi sesudah wafat rosulullah saw.
e.
Kesepakan
itu hendaknya dinyatakan masing-masing mujtahid dengan terang dan tegas pada
suatu waktu.
f.
Hendaknya
kesepakan para mujtahid diatas satu pendapat itu, benar-benar sepakat lahir dan
batin, bukan formalnya saja. Betul-betul terjadi kebulatan pendapat atau suatu
hukum.
2.3.2 Ijma’ Mayoritas
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’
tidak terjadi, jika kessepakatan itu oleh mayoritas mujtahid saja, tetapi suara
minoritasnya menantang. Hal ini disebabkan karena dalil-dalil yang kuat bagi
kehujjan ijma’ adalah untukmemelihara ummat seluruhnya, bukan untuk sebagian
besarnya saja.
Ibnu jarir ath-Thabariy, abu bakar
ar-razi, abul husain al-khayyatiy dari kalangan ulama mu’tazilah dan ahmad bin
hambal dalam salah satu riwayatnya berpendapat bahwa ijma’ dapat terjadi dengan
suara mayoritas dapat dijadikan hujah, tetapi tidak dinamakan ijma’.
2.3.3 Ijma Mujtahid Madinah
Imam malik menganggap ijma’ terhadap
kesepakatan para mujtahid madinah dari kalangan sahabat saja. Berdasarkan
hadis Rosulullah saw:
Artinya: “sesungguhnya (mujtahid)
madinah itu seperti dapur tukang besi, yang dapat menghilangkan kotoran dan
karatnya.
Hadis ini menurut beliau menunjukkan
bahwa pendapat mujtahid benar tidak mengandung kesalahan. Jumhur ulama
berpendapat bahwa tidak bisa terjadi ijma’ dengan kesepakatan mujahid Madinah
saja. Sebab mereka adalah seperti mujtahid-mujtahid dari kota islam lainnya.
Sedangkan hadist diatas, hanya menunjukkan keberkatan madinah, tidak
menunjukkan kemaksuman penduduknya.
2.3.4 Ijma’ Ahlul Bait
Ahlul Bait adalah semua orang yang
mempunyai hubungan kerabat dengan nabi saw. Ulama syi’ah berpendapat bahwa
ijma’ dapat terjadi dengan adanya kesepakatan keluarga nabi saw. Jumhur ulama
berpendapat bahwa tidak bisa terjadi ijma’ dengan kesepakatan ahli bait saja.
Sebab, mereka tidaklah terpelihara dari kesalahan.
2.3.5 Ijma’ Sukuti
Ijma’ dimana masing-masing mujtahid
yang berkumpul menyatakan pendapatnya dengan terang dan jelas di sebut ijma’
sharih (ijma’ secara terang-terangan), karena masing-masing mujtahid
mengemukakan pendapatnya dengan terang. Ijma’ demikianlah yang diakui
kebenarannya oleh jumhur ulama
2.3.6 Ijma’ Murakkab
Jumhur ulama menyatakan bahwa dalil
ijthiad pada suatu masa apabila mereka terbagi menjadi dua golongan besar dalam
masalah hukum islam, dimana masing-masingnya mempunyai pendapat yang berbeda
satu sama lain. Maka, bagi orang yang datang sesudahnya tidak boleh
mendatangkan hukum baru yang merupakan hasil ijtihadnya, yang bertentanggan
dengan pendapat kedua golongan yang mendahuluinya.
2.3.7 Kemungkinan Terjadinya
Ijma’
Ulama Mu’tazilah dan Syiah
berpendapat bahwa ijma’ dalam bentuk yang dikemukakan oleh jumhur ulama, tidak
mungkin terjadi secara adat kebiasaan. Alasan mereka adalah sebagai berikut:
a.
Bahwa untuk mengetahui kriteria mujtahid adalah sangat sulit. Sebab, tidak
adanya ukuran yang di sepakati untuk membedakan antara mujtahid dan yang bukan
mujtahid.
b.
Bahwa para mujtahid berserakan tempatnya di berbagai negara dan benua yang
berjauhan.
c.
Bahwa ijma’ tidak diperlukan kecuali jika, tidak ada dalil qath’i. artinya
bahwa ijma’ itu tidak ada melainkan dari dalil yang dhoni.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’
itu mungkin terwujud dan terjadinya, dengan alasan bahwa hal itu secara
realiatas pernah terjadi.
2.3.8 Kehujjahan ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’
adalah merupakan hujjah yang wajib diamalkan. Semntara itu An Nadhdham.
Sebagian ulama Khawarid dan Syi’ah tidak mengakui kehujjahannya.
Dalil-dalil yang mndukung pndapat
jumhur adalah:
firman ALLAH :
Artinya: dan barang siapa
yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap
kesesatan yang telah di kuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam….”(An-Nisa’ : 115)
2.3.9 Menyandarkan Ijma’ Kepada
Qiyas Atau Kepada Maslahat
Para ulama berselisih pendapat
tentang bolehnya menyandarkan ijma’ kepada qiyas. Sebagian mereka berpendapat
bahwa tidak ada kemaslahatan sama sekali menyandarkan ijma’ kepada qiyas sebab,
kehujjahan qiyas tidak disepakati para ulama.
Sebagian ulama telah mengemukakan
sebagian contoh ijma’ yang ditegakkan diatas masalahah mursalah, yaitu ijma’
sahabat tentang pengumpulan al-Quran dalam satu mushaf, sesudah Abu Bakar
meragukan hal itu.
Dari memperhatikan keterangan diatas
maka dapat difahamkan bahwa kesepakatan mereka menghimpun al-Quran adalah
berdasarkan masalahat yang telah dijelaskan oleh Umar ra.
2.3.10 Penaskhan Ijma’
Apabila terjadi ijma’ pada suatu
masa, maka tidak boleh di batalkan dan dihapus oleh orang-orang yang telah
berijma’ kepadanya itu sebab ijma’ mereka yang pertama menjadi hujjah syariah
qath’iah, yang wajib mereka amalkan. Dan sebaliknya, tidak boleh mereka
langgar.
Pendapat ulama bahwa ijma’ itu
terjadi karena suatu kesepakatan para mujtahid dalam masa hidup mereka, bukan
ketika mereka sudah mati, namun sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa boleh
para mujtahid membetulkan pendapatnya yang telah lalu, jika menurut mereka
pendapatnya yang lalu itu terdapat kesalahan.
Dan telah jelas pndapat yang tidak
membolehkan perubahan hukum yang telah di ijma’I adalah jika ijma’ itu
disandarkan kepada kitab al-Quran, sunnah dan qiyas.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum
Islam merupakan hukum ke-Tuhanan. Ini merupakan dalil pokok dan merupakan jalan
untuk mengetahui hukum-hukum ini. Maka Al-Quran, yakni firman Allah adalah
merupakan jalan pertama untuk mengetahui hukum-hukum-Nya. Alasan bahwa Al-Quran
adalah hujjah bagi umat manusia dan bahwa hukum yang dikandungnya adalah
undang-undang yang harus ditaati, karena Al-Quran diturunkan langsung dari
Allah dan diterima oleh manusia dari Allah dengan cara yang pasti, tidak
diragukan lagi kebenarannya.
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber
hukum syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-Quran dari segi wurud
(kedatangan) dan tsubut (penetapannya) adalah qath’i. Hal ini karena semua
ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir. Kalaupun ada sebagian
sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushafnya, yang tidak ada pada
qiraahnya mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran terhadap
Al-Quran yang didengar dari Nabi SAW.
Hal ini disebabkan bahwa sumber hukum yang merupakan
objek bahasan ushul fiqih yang diyakini dari Allah SWT, berbentuk Al-Quran dan
As-Sunnah.setelah itu ijma’ dan qiyas sebagai penguat sumber hukum islam.
Sebagaimana telah kita ketahui yang dimaksud ijma menurut syara’ itu antara
lain adanya kesepakatan dari semua mujtahid yang hidup dalam satu masa tentang
ketetapan hukum syara’. Para ulama yang menetapakan kekuatan qiyas sebagai
hujjah dengan mengambil dalil al-Quran.
DAFTAR PUSTAKA
Syukur, Syarmin. 1993.
Sumber-sumber Hukum Islam. Surabaya: “AL-IKHLAS”
Abdullah, Sulaiman. 1995.
Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
I.Doi, Abdur Rahman. 1993.
Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Wahhab, Khallaf Abdul. Ilmu Ushul
Fiqih, Jakarta: Pustaka Aman, 2003
Syafe’i Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung:Pustaka
Setia ,2007
Syamin, Syukur. Sumber-Sumber Hukum Islam,
Surabaya: Al-Ikhlas, 1993















0 komentar:
Post a Comment