Saturday, 30 April 2016
Makalah Proses Integrasi Nusantara
20:58:00
No comments
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam dan Proses Integrasi - Integrasi suatu bangsa
adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan
adanya integrasi akan melahirkan satu kekuatan bangsa yang ampuh dan segala
persoalan yang timbul dapat dihadapi bersama-sama. Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah wujud konkret dari proses integrasi bangsa. Proses integrasi
bangsa Indonesia ini ternyata sudah berlangsung cukup lama bahkan sudah dimulai
sejak awal tarikh masehi. Pada abad ke-16 proses integrasi bangsa Indonesia
mulai menonjol. Masa itu adalah masa-masa pertumbuhan dan perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.
1. Peranan Para Ulama dalam Proses
Integrasi
Agama Islam yang masuk dan berkembang di Nusantara mengajarkan kebersamaan dan
mengembangkan toleransi dalam kehidupan beragama. Islam mengajarkan persamaan
dan tidak mengenal kasta-kasta dalam kehidupan masyarakat. Konsep ajaran Islam
memunculkan perilaku ke arah persatuan dan persamaan derajat. Disisi lain,
datangnya pedagang-pedagang Islam di Indonesia mendorong berkembangnya
tempat-tempat perdagangan di daerah pantai. Tempat-tempat perdagangan itu
kemudian berkembang menjadi pelabuhan dan kota-kota pantai. Bahkan kota-kota
pantai yang merupakan bandar dan pusat perdagangan, berkembang menjadi
kerajaan. Timbulnya kerajaan-kerajaan Islam menandai awal terjadinya proses
integrasi. Meskipun masing-masing kerajaan memiliki cara dan faktor pendukung
yang berbeda-beda dalam proses integrasinya.
2. Peran Perdagangan Antarpulau
Proses integrasi juga terlihat melalui kegiatan pelayaran dan perdagangan
antarpulau. Sejak zaman kuno, kegiatan pelayaran dan perdagangan sudah
berlangsung di Kepulauan Indonesia. Pelayaran dan perdagangan itu berlangsung
dari daerah yang satu ke daerah yang lain, bahkan antara negara yang satu
dengan negara yang lain. Kegiatan pelayaran dan perdagangan pada umumnya
berlangsung dalam waktu yang lama. Hal ini, menimbulkan pergaulan dan hubungan
kebudayaan antara para pedagang dengan penduduk setempat. Kegiatan semacam ini
mendorong terjadinya proses integrasi.
3. Peran Bahasa
Perlu juga kamu pahami bahwa bahasa juga memiliki peran yang strategis dalam
proses integrasi. Kamu tahu bahwa Kepulauan Indonesia terdiri atas beribu-ribu
pulau yang dihuni oleh aneka ragam suku bangsa. Tiap-tiap suku bangsa memiliki
bahasa masing-masing. Untuk mempermudah komunikasi antarsuku bangsa, diperlukan
satu bahasa yang menjadi bahasa perantara dan dapat dimengerti oleh semua suku
bangsa. Jika tidak memiliki kesamaan bahasa, persatuan tidak terjadi karena di
antara suku bangsa timbul kecurigaan dan prasangka lain. Bahasa merupakan
sarana pergaulan. Bahasa Melayu digunakan hampir di semua pelabuhan-pelabuhan
di Kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu sejak zaman kuno sudah menjadi bahasa
resmi negara Melayu (Jambi).
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk
mengetahui Proses Integrasi Nusantara
BAB II
PEMBAHASAN
Proses
integrasi Nusantara
Mengapa berkembangnya Islam di
Indonesia menjadi faktor yang mempercepat proses integrasi bangsa Indonesia?
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut dapat dilihat secara etis, kultural,
historis, dan ideologis.
1) Etis
Secara etis ajaran Islam tidak
mengakui adanya perbedaan golongan dalam masyarakat. Dapat dikatakan bahwa
ajaran Islam lebih bersifat demokratis dibandingkan dengan ajaran atau
kepercayaan yang dianut bangsa Indonesia sebelum masuknya Islam. Selain itu
agama Islam tidak mengenal perbedaan kasta, golongan, dan lain-lain.
Menurut ajaran Islam, semua orang
yang menganut Islam dianggap sebagai saudara dan memiliki kedudukan yang sama.
Cara pandang seperti ini dipraktikkan oleh para pedagang Islam di seluruh
Nusantara dalam pergaulan di kota-kota pelabuhan Nusantara. Di kota-kota dagang
Nusantara, seperti, Malaka, Pasai, Banten, Cirebon, Tuban, Demak, Makasar,
Ambon dan lain-lain, terjadi hubungan yang egaliter (berada dalam posisi yang
sama). Misalnya, para pedagang yang berada di Malaka, Banten, dan lain-lain
menganggap para pedagang Islam yang berasal dari berbagai daerah dan suku
bangsa Indonesia sebagai saudara. Terjadilah keterikatan dan persaudaraan di
antara mereka, perbedaan latar belakang suku, adat-istiadat, bahasa, tradisi,
dan lain-lain menjadi tidak penting karena semuanya merasa berada dalam satu
pandangan dan kedudukan yang sama. Mereka merasa bersatu karena pandangan yang
sama tersebut.
Dari persamaan pandangan mengenai etika sosial tersebut, terdapat dua hal yang dipengaruhinya. Pertama, perdagangan di antara orang-orang Islam berkembang dengan pesat. Masuknya Islam ke Indonesia terjadi melalui proses perdagangan. Dengan adanya perdagangan tersebut, selain Islam menyebar di Nusantara, perdagangan di kepulauan ini pun ikut berkembang pesat.
Dari persamaan pandangan mengenai etika sosial tersebut, terdapat dua hal yang dipengaruhinya. Pertama, perdagangan di antara orang-orang Islam berkembang dengan pesat. Masuknya Islam ke Indonesia terjadi melalui proses perdagangan. Dengan adanya perdagangan tersebut, selain Islam menyebar di Nusantara, perdagangan di kepulauan ini pun ikut berkembang pesat.
Faktor etika sosial yang dianut para
pedagang Nusantara berpengaruh terhadap perkembangan kegiatan ekonomi dagang.
Kedua, adanya pandangan tersebut telah mendorong terciptanya perasaan
terintegrasi di antara para pedagang penganut Islam yang memiliki latar
belakang berbeda-beda. Tampaknya, dalam kegiatan dagang, faktor perbedaan
etnis, budaya, bahasa, dan lain-lain diabaikan. Mereka beranggapan bahwa yang
terpenting adalah keuntungan. Keuntungan tersebut harus dinikmati bersama-sama
di antara penganut agama yang sama.
Para pedagang Islam dan penganut
Islam di Indonesia pada awal perkembangannya tidak memusuhi penganut
kepercayaan lain. Seperti telah dijelaskan pada bab terdahulu, dalam proses
penyebaran Islam tidak dicatat dalam sejarah bahwa orang-orang Islam memerangi
pemeluk agama lain.
2) Kultural
Secara kultural (budaya), pemeluk
Islam di Indonesia tidak mempertentangkan ajaran Islam dengan adat-istiadat
atau kepercayaan yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Budha. Sebagian besar wali
yang menyebarkan Islam di jawa menggunakan pendekatan budaya setempat untuk
menyebarkan Islam. Para wali dan ulama penganut ajaran tasawuf berpandangan
bahwa para penganut ajaran lain harus tetap dihormati. Mereka juga berpandangan
bahwa pemeluk kepercayaan lain harus didekati dengan metode yang paling bisa
diterima oleh mereka.
Dilihat dari awal perkembangan Islam
di Indonesia tampaknya kita sampai pada kesimpulan bahwa perbedaan kepercayaan,
tradisi, dan adat istiadat bukan merupakan faktor disintegrasi, melainkan
sebaliknya. Sikap para pedagang, penyebar Islam, dan penganut Islam Indonesia
yang dapat menyesuaikan diri (akomodatif) terhadap perbedaan pandangan,
adat-istiadat dan kepercayaan setempat yang telah lebih dulu dianut menyebabkan
tidak terjadinya konflik budaya.
Masuk dan berkembangnya Islam di
Indonesia tidak menimbulkan benturan-benturan antara budaya Islam dengan budaya
setempat. Adanya sikap akomodatif tersebut malah mempercepat terjadinya
akulturasi dan melahirkan kebudayaan khas Indonesia. Sikap toleransi pemeluk
Islam terhadap pemeluk kepercayaan lain menjadi salah satu faktor yang membantu
terjadinya proses integrasi bangsa.
Hasil akulturasi antara kebudayaan
Islam dengan kebudayaan lokal Indonesia, baik dalam bentuk gagasan maupun dalam
bentuk fisik telah melahirkan identitas baru di kalangan pemeluk Islam di
Indonesia. Ternyata, kebudayaan Islam di Indonesia berbeda dengan kebudayaan
Islam di negara-negara Islam lain. Kekhasan dan persamaan kebudayaan Islam
Indonesia yang dianut oleh suku-suku bangsa Indonesia menciptakan perasaan
bersatu di antara pemeluk-pemeluknya. Dengan demikian, hasil akulturasi menjadi
salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses integrasi bangsa.
Sikap toleransi dalam aspek budaya dapat juga dilihat dalam praktik perdagangan. Para pedagang Islam berpandangan bahwa mereka bisa berdagang dengan siapa pun tanpa melihat latar belakang agama. Secara kultural, para pedagang Islam memiliki sikap terbuka terhadap perbedaan suku bangsa, agama, dan golongan dalam kegiatan dagang.
Sikap toleransi dalam aspek budaya dapat juga dilihat dalam praktik perdagangan. Para pedagang Islam berpandangan bahwa mereka bisa berdagang dengan siapa pun tanpa melihat latar belakang agama. Secara kultural, para pedagang Islam memiliki sikap terbuka terhadap perbedaan suku bangsa, agama, dan golongan dalam kegiatan dagang.
Misalnya, para pedagang Islam di
Malaka, Banten, Makasar, dan lain-lain bukan hanya berdagang dengan pedagang
Islam dari Arab, Persia, Gujarat, melainkan dengan para pedagang non-Islam dari
Cina, Champa, dan lain-lain. Jadi secara historis, walaupun perdagangan pada
abad 14-17 didominasi para pedagang Islam, mereka bersedia berdagang dengan
siapa pun tanpa melihat perbedaan latar belakang bangsa dan agama.
Para pedagang Nusantara tidak
menentang bangsa asing yang berdagang di perairan Indonesia. Mereka beranggapan
bahwa yang terpenting dalam perdagangan adalah keuntungan yang bisa diraih.
Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, walaupun berambisi menguasai jalur
penting dagang, beranggapan bahwa laut merupakan wilayah terbuka yang bisa
digunakan oleh siapa pun. Pandangan seperti ini antara lain dianut oleh
kerajaan Islam Makasar. Sikap terbuka tersebut telah membantu proses integrasi
karena dengan demikian para pedagang Nusantara bisa berdagang dengan berbagai
pedagang, baik dari Nusantara maupun mancanegara.
3) Historis
Secara historis, ternyata sikap
terbuka tersebut disalahgunakan oleh kekuatan asing yang ingin menguasai sumber
barang dagangan. Mereka berambisi untuk menguasai claerah penghasil
rempah-rempah. Jatuhnya Malaka ke tangan bangsa Portugis tahun 1511 adalah
bukti adanya pemaksaan kehendak pedagang Barat dalam menguasai wilayah dagang.
Peristiwa jatuhnya pelabuhan Malaka
tersebut merupakan awal perubahan sikap pedagang Nusantara. Sejak peristiwa
itu, para pedagang Nusantara mulai berhati-hati dengan pedagang asing terutama
dari Barat (Eropa). Para pedagang Islam mulai menyadari bahwa datangnya para
pedagang Portugis di kepulauan Nusantara bukan hanya ingin berdagang, melainkan
juga memiliki tujuan politis dan historis, yaitu ingin menghancurkan kekuatan
Islam.
Mengapa bangsa Portugis ingin
menghancurkan kekuatan Islam? Latar belakang historisnya dapat dilihat mengenai
ekspansi kekuasaan Dinasti Umayyah di Cordoba. Ternyata, penaklukkan Jazirah
Iberia (wilayah bangsa Portugis dan Spanyol) oleh dinasti Islam Umayyah abad
ke-7 M dan disusul dengan kekuasaan Islam atas wilayah Eropa lainnya sampai
abad ke-15, serta jatuhnya Konstantinopel, ibukota Romawi Timur, ke tangan
kerajaan Islam Turki Usmania tahun 1453, menimbulkan kebencian bangsa Eropa
terhadap kekuatan Islam yang pernah menaklukkannya.
Bangsa Portugis dan Spanyol yang
secara historis pernah dikuasai oleh orang-orang Islam ingin membalas dendam
penaklukkan tersebut. Didukung oleh faktor ambisi mengejar kejayaan, menguasai
sumber perdagangan rempah-rempah, dan misi agama, mereka berusaha untuk
menjelajah dunia dan menguasai jalur dagang internasional yang pada umumnya
dikuasai oleh para pedagang Islam. Dengan ambisi tersebut, satu per satu
kekuatan Islam diperangi dan pelabuhan-pelabuhannya diduduki.
Setelah berhasil melalui pantai
barat, selatan, dan timur Afrika, mereka sampai ke Samudera Hindia dan bertemu
dengan pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan sepanjang jalur tersebut.
Akhirnya mereka sampai di Malaka dan berhasil menaklukkan dan menguasai
pelabuhan itu tahun 1511. Setelah berhasil merebut Malaka, bangsa Portugis terus
berusaha menaklukkan kekuatan-kekuatan Islam lainnya di Nusantara, antara lain,
Pelabuhan Banten, Ambon, dan Maluku.
Tindakan bangsa Portugis tersebut
disusul oleh bangsa Belanda yang memiliki ambisi sama. Bangsa Belanda pun
berusaha untuk menguasai sumber penghasil rempah-rempah dan pelabuhan-pelabuhan
penting kerajaan Islam Nusantara. Dengan cara memecah belah (devide at impera),
satu per satu pelabuhan-pelabuhan penting Nusantara dikuasainya, seperti Sunda
Kelapa, Ambon, Makasar, Demak, Cirebon, dan lain-lain.
Peranan Islam dalam proses integrasi
telah dipengaruhi oleh perkembangan historis di atas. Berdasarkan perkembangan
tersebut, para pedagang Islam serta kerajaan-kerajaan Islam Nusantara melihat
bahwa kedatangan orang-orang Barat bukan hanya untuk berdagang, melainkan juga
untuk menaklukkan kekuasaan Islam di Nusantara. Mereka mulai sadar bahwa
kekuatan asing telah menyalahgunakan keterbukaan sikap pedagang Islam dan
keterbukaan laut Nusantara.
Akibat dari perkembangan historis
tersebut, adalah Pertama, peranan pedagang Islam di Laut Nusantara mengalami
kemunduran karena para pedagang asing (Barat) mulai memonopoli perdagangan di
kawasan tersebut.
Kedua, Islam
telah dijadikan sebagai satu kekuatan pemersatu untuk melawan kekuatan asing.
Akal bulus datangnya bangsa Barat tersebut justru telah menyatukan
kerajaan-kerajaan Islam atas dasar azas yang sama yaitu agama Islam dalam
menghadapi Barat. Walaupun mereka tidak bersatu secara politis, akan tetapi
telah terdapat kesamaan pandangan di kalangan umat Islam saat itu bahwa
kekuatan asing tersebut akan menghancurkan kekuatan Islam. Oleh karena itu,
Islam digunakan sebagai satu kekuatan azasi untuk mengusir penjajah. Kesamaan
pandangan tersebut membuktikan bahwa Islam telah mempercepat proses integrasi.
4) Ideologis
Perlawanan daerah-daerah di
Indonesia terhadap kekuatan Belanda pada abad ke-19 merupakan bukti bahwa Islam
telah digunakan sebagai kekuatan azasi dan yang telah dianut masyarakat sejak
ratusan tahun yang lalu itu dimanfaatkan oleh para pemimpin perlawanan di
daerah yang pada umumnya kharismatis dan memiliki pengetahuan agama Islam yang
mendalam.
Dengan kekuatan tersebut, semangat
untuk mengusir penjajah semakin besar. Rakyat yang berada di bawah pemimpin
kharismatis percaya bahwa Belanda adalah kafir, dan musuh Islam. Dengan
semangat perang sabil, perlawanan di daerah pada abad ke-19 merupakan perang
yang telah merepotkan pemerintah kolonial Belanda.
Contoh-contoh yang menunjukkan bahwa
Islam telah digunakan sebagai kekuatan azasi dapat dilihat dalam Perang Saparua
(1817), Perang Paderi (1819-1832), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang
Banjarmasin (1852, 1859, 1862), Perang Aceh (1873-1912), dan Perlawanan Petani
Banten (1888). Walaupun perang-perang tersebut masih bersifat kedaerahan, secara
historis dapat dikatakan bahwa perang yang dilandasi oleh kekuatan ideologis
Islam itu telah menjadi dasar bagi lahirnya nasionalisme Indonesia pada awal
abad ke-20.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa secara etis, sosial-budaya, ideologis,dan historis, Islam
memiliki peran yang besar dalam proses integrasi bangsa. Sebenarnya,
dasar-dasar gerakan nasionalisme atau gerakan kebangsaan Indonesia pada awal
abad ke-20 telah diletakkan sejak tumbuh dan berkembangnya penganut serta
kekuatan politik Islam di Nusantara, yaitu sejak abad ke-16.
Makalah Kedatangan Islam ke Nusantara
20:57:00
No comments
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Pada
masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia terdapat beraneka ragam suku
bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, dan sosial budaya. Suku
bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman, jika
dilihat dari sudut antropologi budaya, belum banyak mengalami percampuran
jenis-jenis bangsa dan budaya dari luar, seperti dari India, Persia, Arab, dan
Eropa. Struktur sosial, ekonomi, dan budayanya agak statis dibandingkan dengan
suku bangsa yang mendiami daerah pesisir. Mereka yang berdiam di pesisir,
lebih-lebih di kota pelabuhan, menunjukkan ciri-ciri fisik dan sosial budaya
yang lebih berkembang akibat percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.
Proses Islamisasi di Indonesia
Dalam masa kedatangan dan penyebaran
Islam di Indonesia, terdapat negara-negara yang bercorak Indonesia-Hindu. Di
Sumatra terdapat kerajaan Sriwijaya dan Melayu; di Jawa, Majapahit; di Sunda,
Pajajaran; dan di Kalimantan, Daha dan Kutai. Agama Islam yang datang ke
Indonesia mendapat perhatian khusus dari kebanyakan rakyat yang telah memeluk
agama Hindu. Agama Islam dipandang lebih baik oleh rakyat yang semula menganut
agama Hindu, karena Islam tidak mengenal kasta, dan Islam tidak mengenal
perbedaan golongan dalam masyarakat. Daya penarik Islam bagi pedagangpedagang
yang hidup di bawah kekuasaan raja-raja Indonesia-Hindu agaknya ditemukan pada
pemikiran orang kecil. Islam memberikan sesuatu persamaan bagi pribadinya
sebagai anggota masyarakat muslim. Sedangkan menurut alam pikiran agama Hindu,
ia hanyalah makhluk yang lebih rendah derajatnya daripada kasta-kasta lain. Di
dalam Islam, ia merasa dirinya sama atau bahkan lebih tinggi dari pada
orang-orang yang bukan muslim, meskipun dalam struktur masyarakat menempati
kedudukan bawahan.
Proses islamisasi di Indonesia
terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dua pihak: orang-orang muslim
pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat Indonesia
sendiri yang menerimanya. Dalam masa-masa kegoncangan politik, ekonomi, dan
sosial budaya, Islam sebagai agama dengan mudah dapat memasuki & mengisi
masyarakat yang sedang mencari pegangan hidup, lebih-lebih cara-cara yg
ditempuh oleh orang-orang muslim dalam menyebarkan agama Islam, yaitu
menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya yang telah ada. Dengan demikian, pada
tahap permulaan islamisasi dilakukan dengan saling pengertian akan kebutuhan
& disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Pembawa dan penyebar agama
Islam pada masa-masa permulaan adalah golongan pedagang, yang sebenarnya
menjadikan faktor ekonomi perdagangan sebagai pendorong utama untuk berkunjung
ke Indonesia. Hal itu bersamaan waktunya dengan masa perkembangan pelayaran dan
perdagangan internasional antara negeri-negeri di bagian barat, tenggara, dan
timur Asia.
B. Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui kedatangan Islam ke
Nusantara
BAB II
PEMBAHASAN
Penyebaran islam merupakan salah satu proses yang sangat
penting dalam sejarah Indonesia dan juga paling tidak jelas sumbernya. Secara
umum ada dua proses yang mungkin telah terjadi. Pertama, penduduk
pribumi mengalami kontak dengan agama islam kemudian menganutnya. Kedua,
orang-orang asing Asia yang telah memeluk agama islam tinggal secara tetap di
suatu wilayah Indonesia .Ruang ligkup kajian sejarah islam, Indonesai sejak
abad 14 sampai abad ke19 yang menjadi perhatian para sejarawan adalah bagaimana
proses masuknya islam di Asia Tenggara termasuk nusantara, darimana asal islam,
siapa yang membawa serta pengaruh yang dihasilkan akibat islamisasi tersebut.
Banyak para ahli yang mengemukakan teori tentang kapan islam datang, dari mana
asalnya, serta siapa pembawa islam tersebut. Berikut adalah beberapa teori yang
di kemukakan oleh para ahli yang menjelaskan tentang darimana, siapa yang
membawa, serta bukti yang ada tentang masuknya islam ke nusantara.
Pijnappel mengemukakan bahwa asal islam
adalah dari Gujarat/ Malabar, yang dibawa oleh Orang-orang yang bermadzhab
syafi’i yang berimigarasi dan menetap di wilayah India. Snouck Hurgronje,
menerangkan islam datang ke nusantara pada abad ke-12, yan berasal dari anak
benua India, dan di bawa oleh Para pedagang yang sebagai perantara perdagangan
Timur Tengah dengan nusantara datang ke dunia Melayu, kemudian di susul dengan
orang-orang arab yang kebanyakan keturunan Nabi. Moquette, menerangkan
bahwa islam berasal dari Gujarat, yang di bawa oleh Para pengimpor batu nisan
dari gujarat dengan mengimpor batu nisan ini maka orang nusantara mengambil
islam,
2.1 Proses Islamisasi di Nusantara
Menurut
Hasan Muarif Ambary ada tiga tahap proses islamisasi di Nusantara. Pertama,
fase kehadiran para pedagang muslim (abad ke-1 sampai ke-4 H). Sejak permulaan
abad Masehi kapal-kapal dagang Arab sudah mulai berlayar ke wilayah Asia
Tenggara. Akan tetapi apakah ada data tentang masuknya penduduk asli ke dalam
Islam? Meskipun ada dugaan bahwa dalam abad ke-1 sampai ke-4 H terdapat
hubungan perkawinan antara pedagang muslim dengan penduduk setempat, sehingga
mereka memeluk agama Islam. Pada abad ke 1-4 H / 7-10 M Jawa tidak
disebut-sebut sebagai tempat persinggahan pedagang. Mengenai adanya makam
Fatimah binti Maimun di Leran Gresik dengan angka tahun 475 H/1082 M bentuk
maesan dan jiratnya menunjukkan pola gaya hias makam dari abad ke-16 M. Fatimi
berpendapat bahwa nisan itu ditulis oleh orang Syiah dan ia bukan seorang
muslim Jawa, tetapi seorang pendatang yang sebelumnya bermukim di timur jauh.
2.2.Proses Islamisasi di Sumatera
Aceh,
daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali
menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia
berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat
persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang
menyebarkan Islam.
Adanya berita dari Marcopolo yang mengatakan bahwa ketika ia
mengunjungi Sumatera penduduk Sumatera Utara beragama Hindu kecuali Ferlec
yang sudah beragama Islam dan adanya batu nisan kubur di Aceh dengan nama
Sultan Al Malik al-Saleh yang berangka tahun wafat 1297 M menandakan bahwa
Islam sudah tumbuh dan berkembang di wilayah Sumatera. Adapun teori yang
mengatakan Islam masuk Indonesia abad ke-7 M, tidak lebih realitas “masuknya”
yang dibawa oleh para pedagang muslim karena dalam perjalanan pelayaran dagang
mereka ke dan dari Cina selalu singgah
2.3. Proses Islamisasi di Jawa
Sebelum
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, di Jawa telah berdiri kerajaan-kerajaan
Hindu dan kerajaan-kerajaan Budha yang cukup kokoh dan tangguh, bahkan sampai
saat ini hasil peradabannya masih dapat disaksikan. Misalnya, candi Borobudur
yang merupakan peninggalan Budha Mahayana dan kelompok candi Roro Jonggrang di
desa Prambanan dan peninggalan-peninggalan lainnya yang tersebar di
Jawa.Setelah agama Islam datang di Jawa dan Kerajaan Majapahit semakin merosot
pengaruhnya di masyarakat, terjadilah pergeseran di bidang politik.
Menurut
Sartono, islamisasi menunjukkan suatu proses yang terjadi cepat, terutama
sebagai hasil dakwah para wali sebagai perintis dan penyebar agama Islam di
Jawa. Di samping kewibawaan rohaniah, para wali juga berpengaruh dalam bidang
politik, bahkan ada yang memegang pemerintahan. Otoritas kharismatis mereka
merupakan ancaman bagi raja-raja Hindu di pedalaman.
2.4. Persialangan Budaya di
Nusantara
Indonesia
secara tepat digambarkan Bung Karno sebagai “taman sari dunia”. Sebagai
“negara kepulauan” terbesar di dunia, yang membujur di titik strategis
persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan sumberdaya
yang berlimpah, Indonesia sejak lama menjadi titik-temu penjelajahan bahari
yang membawa berbagai arus peradaban.
Menurut
Denys Lombard (1996: I, 1), “Sungguh tak ada satu pun tempat di dunia
ini—kecuali mungkin Asia Tengah—yang, seperti Nusantara, menjadi tempat
kehadiran hampir semua kebudayaan besar dunia, berdampingan atau lebur menjadi
satu.” Dia melukiskan adanya beberapa ‘nebula sosial-budaya’ yang secara kuat
mempengaruhi peradaban Nusantara (secara khusus Jawa): Indianisasi, jaringan
Asia (Islam dan China), serta arus pembaratan.
Pengaruh
Indianisasi (Hindu-Budha) mulai dirasakan pada abad ke-5, bersama kemunculan
dua kerajaan yang terkenal, Kerajaan Mulawarman di Kalimantan Timur dan
Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat sebagai pengikut setia Wisnu, yang kemudian
berkembang secara luas dan dalam hingga seribu tahun kemudian (abad ke-15),
terutama di Sumatra, Jawa dan Bali. Struktur konsentris kosmologi India
berpengaruh pada mentalitas orang-orang di wilayah tersebut, terlebih di Jawa
dan Bali, seperti tampak pada cara berfikir dan sistem tata susila, juga dalam
upacara-upacara dan ungkapan seni.
Pengaruh
Islamisasi mulai dirasakan secara kuat pada abad ke-13, dengan kemunculan
kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Kerajaan Samudera-Pasai di sekitar Aceh.
Dari ujung Barat Nusantara, pengaruh Islam secara cepat meluas ke bagian Timur
meresapi wilayah-wilayah yang sebelumnya dipengaruhi Hindu-Budha, yang
akselarasinya dipercepat justru oleh penetrasi kekuatan-kekuatan Eropa di
Nusantara sejak abad ke-16. Kehadiran Islam membawa perubahan penting dalam
pandangan dunia (world view) dan etos masyarakat Nusantara, terutama, pada
mulanya, bagi masyarakat wilayah pesisir. Islam meratakan jalan bagi modernitas
dengan memunculkan masyarakat perkotaan dengan konsepsi ‘kesetaraan’ dalam
hubungan antarmanusia, konsepsi ‘pribadi’ (nafs, personne) yang mengarah pada
pertanggungjawaban individu, serta konsepsi waktu (sejarah) yang ‘linear’,
menggantikan konsepsi sejarah yang melingkar (Lombard, 1996: II,
149-242).
Pengaruh
China hampir bersamaan dan saling meresapi (osmosis) dengan pengaruh Islam,
yang mulai dirasakan setidaknya sejak abad ke-14 (zaman Dinasti Ming di China),
ketika imigran-imigran baru dari Fujian dan Guangdong tiba di Nusantara, dan
segera membaur ke dalam struktur sosial-budaya yang ada tanpa hambatan berarti
(Coppel, 1983). Kehadiran anasir China berperan penting dalam memperkenalkan
dan mengembangkan teknik produksi berbagai komoditi (gula, arak dan lain-lain),
pemanfaatan laut untuk perikanan, pembudidayaan tiram dan udang, dan pembuatan
garam, pengadopsian teknik serta perlengkapan perdagangan, gaya hidup
(arsitektur, perhiasan, hiburan, tontonan, beladiri, dan romannya),
peran sosial-budaya klenteng serta keterlibatan ulama keturunan China dalam
proses Islamisasi (Lombard, 1996: II, 243-337).
Pengaruh
pembaratan diperkenalkan oleh kehadiran Portugis pada abad ke-16, disusul oleh
Belanda dan Inggris. Tetapi aktor utamanya tak pelak lagi adalah Belanda. Sejak
kedatangan armada pertama Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada
1596, yang disusul oleh operasi ’Serikat Perseroan Hindia Belanda’ (VOC) sejak
1602, secara berangsur proses pembaratan mulai dirasakan. Dengan jatuhnya VOC
pada tahun 1799, hegemoni atas Hindia diserahkan dari
‘perusahaan-swasta-kolonial’ kepada imperium negara-kolonial. Negara kolonial
Belanda mulai menancapkan pengaruhnya setelah kekuasaan sementara Inggris
selama perang Napoleon (1811-1816).
Sejak
itu, sebagian besar kepulauan Nusantara secara berangsur dan berbeda-beda
diintegrasikan ke dalam satu wilayah kekuasaan kolonial, yang
mentransformasikan pusat-pusat kekuasaan yang terpencar ke dalam suatu negara
kesatuan kolonial. Intensifikasi proses pembaratan terjadi selama masa
rezim ‘Liberal’ pada paruh kedua abad ke-19 yang dilanjutkan oleh rezim
‘Politik Etis’ pada awal ke-20 (Latif, 2005).
Pengaruh
pembaratan membawa mentalitas modern yang telah dibuka oleh pengaruh Islam
menuju perkembangan yang lebih luas dan dalam. Pada bidang sosial-ekonomi,
pengaruh Barat memunculkan sistem perkebunan, perusahaan dan perbankan modern,
pemakaian besi, perkembangan angkutan, khususnya kereta api, dan pengobatan modern.
Pada bidang sosial-politik, pengaruhnya dirasakan pada modernisasi tata-kelola
negara dan masyarakat, klub sosial, organisasi, dan bahasa politik modern. Pada
bidang sosial-budaya, pengaruhnya tampak pada kehadiran lembaga pendidikan dan
penelitian modern, perkembangan tulisan latin, percetakan dan pers, dan gaya
hidup (Lombard, 1996: I).
Sedemikian
ramainya penetrasi global silih berganti, sehingga Nusantara sebagai tempat
persilangan jalan (carrefour) tidak pernah sempat berkembang tanpa gangguan dan
pengaruh dari luar. Akan tetapi, seperti dikatakan oleh Denys Lombard (1996),
situasi demikian tidak perlu dipandang sebagai kerugian. Posisi sebuah negeri
pada persilangan jalan, pada titik pertemuan berbagai dunia dan kebudayaan,
jika dikelola secara baik, mungkin dalam evolusi sejarahnya bisa membawa
keuntungan, kalau bukan syarat untuk terjadinya peradaban agung.
2.3. Bukti
– Bukti Peninggalan Islam di Indonesia
·
Masjid Agung Banten (bangun beratap tumpang
·
Masjid Demak
(dibangun para wali
·
Karya seni atau kaligrafi
·
Nisan
Di Leran, Gresik (Jawa timur) terdapat batu nisan
bertuliskan bahasa dan huruf Arab, yang memuat keterangan tentang meninggalnya
seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 475 Hijriah
(1082 M);
·
Karya sastra
Karya sastra yang dihasilkan cukup beragam. Para seniman muslim
menghasilkan beberapa karya sastra antara lain berupa syair, hikayat, suluk,
babad, dan kitab-kitab.Bukti-bukti peninggalan syair yang ada di nusantara
antara lain :
§ Syair Perahu,karya
Hamzah Fanzuriyang hidup di aceh pada masa pemerintahan sultan Alaidin Riayat
Syah Syidil Mukam II (1589-1604)),Syair ini berisi pengajaran tentang adap.
§ Syair Kompeni
Walanda,yang di dalamnya berisitentang riwayat Nabi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Proses
islamisasi tidak mempunyai awal yang pasti, juga tidak berakhir. Islamisasi
lebih merupakan proses berkesinambungan yang selain mempengaruhi masa kini,
juga masa yang akan datang.Islam telah dipengaruhi oleh lingkungannya, tempat
Islam ber-pijak dan berkembang. Di samping itu, Islam juga menjadi tra-disi
tersendiri yang tertanam dalam konteks
Agama
Islam juga membawa perubahan sosial dan budaya, yakni memperhalus dan
memperkembangkan budaya Indonesia. Penyesuaian antara adat dan syariah di
berbagai daerah di Indonesia selalu terjadi, meskipun kadang-kadang dalam taraf
permulaan mengalami proses pertentangan dalam masyarakat. Meskipun demikian,
proses islamisasi di berbagai tempat di Indonesia dilakukan dengan cara yang
dapat diterima oleh rakyat setempat, sehingga kehidupan keagamaan masyarakat
pada umumnya menunjukkan unsur campuran antara Islam dengan kepercayaan
sebelumnya. Hal tersebut dilakukan oleh penyebar Islam karena di Indonesia
telah sejak lama terdapat agama (Hindu-Budha) dan kepercayaan animisme.
Pada
umumnya kedatangan Islam dan cara menyebarkannya kepada golongan bangsawan
maupun rakyat umum dilakukan dengan cara damai, melalui perdagangan sebagai
sarana dakwah oleh para mubalig atau orang-orang alim. Kadang-kadang pula
golongan bangsawan menjadikan Islam sebagai alat politik untuk mempertahankan
atau mencapai kedudukannya, terutama dalam mewujudkan suatu kerajaan Islam.
Daftar Pustaka
C. Ricklefs, Sejarah Indonesia
Modem (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1991), him.
Azyumardi Azra, Islam Nusantara:
Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002) hlm.20-21
P.A. Hosein Djadjadiningrat, “Islam
di Indonesia”, dalam Kennet Morgan, ed., Islam Djalan Mutlak, terj. Abu
Salamah, ddk. (Djakarta : PT. Pembangunan, 1963), hlm. 99-140
Buku Silang Budaya Tiongkok
Indonesia – Prof Kong Yuanzhi
Makalah Jaringan Keilmuan Di Nusantara
20:57:00
1 comment
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan
lembaga pendidikan di masid-masjid kesultanan di tentukan oleh dukungan
penguasa. Sultan mendanai kegiatan masjid dan mendatangkan ulama dari
mancanegara atau penduduk
pribumi. Para ulama difungsikan sebagai pejabat negara, memberikan pengajaran di masjid negara dan di istana sultan.
Sehingga para sultan dan pejabat tinggi juga menimba ilmu dari ulama. Seperti
di Kerajaan Samudera Pasai dan Kerajan Malaka. Ketika Samudera Pasai mengalami kemunduran politik, tradisi keilmuannya
tetap berlanjut sehingga menjadi pusat studi islam nusantara. Kemudian
Kerajaan Malaka masuk islam dan berkembang menjadi pusat studi islam di
asia tenggara. Kemajuan ekonomi membuat
Malaka mengundang ulama untuk berpartisipasi aktif dalam
pendidikan islam. Kerajaan Malaka giat
melaksanakan pengajian dan pendidikan islam, sehingga dalam waktu
singkat berhasil merubah sikap dan konsepsi
agama, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Pendidikan agama
berlangsung di istana, perpustakaan difungsikan sebagai pusat penyalinan
dan penerjemahan kitab berbahasa arab. Karena perhatian negara tinggi terhadap agama, banyak ulama datang ke
Malaka. Mengajar dan menarik para pelajar dari luar untuk datang ke Malaka dan
mengajarkan islam di daerah asal sepulang menempuh pendidikan
B. Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui jaringan Keilmuan di
Nusantara
BAB II
PEMBAHASAN
Terbentuknya
Jaringan Keilmuan di Nusantara
Pada bagian ini kamu akan memahami
hubungan antara Istana sebagai pusat kekuasaan dan pendidikan. Perkembangan
lembaga pendidikan dan pengajaran di masjid-masjid kesultanan sangat ditentukan
oleh dukungan penguasa. Sultan bukan saja mendanai kegiatan-kegiatan masjid,
tetapi juga mendatangkan para ulama, baik dari mancanegara, terutama Timur
Tengah, maupun dari kalangan ulama pribumi sendiri. Para ulama yang kemudian
juga difungsikan sebagai pejabat-pejabat negara, bukan saja memberikan pengajaran
agama Islam di masjid-masjid negara, tetapi juga di istana sultan. Para sultan
dan pejabat tinggi rupanya juga menimba ilmu dari para ulama. Seperti halnya
yang terjadi di Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Kerajaan Malaka.
Ketika Kerajaan Samudera Pasai
mengalami kemunduran dalam bidang politik, tradisi keilmuannya tetap berlanjut.
Samudera Pasai terus berfungsi sebagai pusat studi Islam di Nusantara. Namun,
ketika Kerajaan Malaka telah masuk Islam, pusat studi keislaman tidak lagi
hanya dipegang oleh Samudera Pasai. Malaka kemudian juga berkembang sebagai
pusat studi Islam di Asia Tenggara, bahkan mungkin dapat dikatakan berhasil
menyainginya. Kemajuan ekonomi Kerajaan Malaka telah mengundang banyak ulama
dari mancanegara untuk berpartisipasi dengan lebih intensif dalam proses
pendidikan dan pembelajaran agama Islam.
Kerajaan Malaka dengan giat
melaksanakan pengajian dan pendidikan Islam. Hal itu terbukti dengan
berhasilnya kerajaan ini dalam waktu singkat melakukan perubahan sikap dan
konsepsi masyarakat terhadap agama, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Proses
pendidikan dan pengakaran itu sebagian berlangsung di kerajaan. Perpustakaan
sudah tersedia di istana dan difungsikan sebagai pusat penyalinan kitab-kitab
dan penerjemahannya dari bahasa Arab ke bahasa Melayu. Karena perhatian
kerajaan yang tinggi terhadap pendidikan Islam, banyak ulama dari mancanegara
yang datang ke Malaka, seperti dari Afghanistan, Malabar, Hindustan, dan
terutama dari Arab. Banyaknya para ulama besar dari berbagai negara yang
mengajar di Malaka telah menarik para penuntut ilmu dari berbagai kerajaan
Islam di Asia Tenggara untuk datang. Dari
Jawa misalnya, Sunan Bonang dan Sunan Giri pernah menuntut ilmu ke Malaka dan
setelah menyelesaikan pendidikannya mereka kembali ke Jawa dan mendirikan
lembaga pendidikan Islam di tempat masing-masing.
Hubungan antar kerajaan Islam,
misalnya Samudera Pasai, Malaka, dan Aceh Darussalam, sangat bermakna dalam
bidang budaya dan keagamaan. Ketiganya tersohor dengan sebutan Serambi Mekkah
dan menjadi pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia. Untuk
mengintensifkan proses Islamisasi, para ulama telah mengarang, menyadur, dan
menerjemahkan karyakarya keilmuan Islam. Sultan Iskandar Muda adalah raja yang
sangat memperhatikan pengembangan pendidikan dan pengajaran agama Islam. Ia
mendirikan Masjid Raya Baiturrahman, dan memanggil Hamzah al Fanzuri dan
Syamsuddin as Sumatrani sebagai penasihat. Syekh Yusuf al Makassari ulama dari
Kesultanan Goa di Sulawesi Selatan pernah menuntut ilmu di Aceh Darussalam
sebelum melanjutkan ke Mekkah. Melalui pengajaran Abdur Rauf as Singkili telah
muncul ulama Minangkabau Syekh Burhanuddin Ulakan yang terkenal sebagai pelopor
pendidikan Islam di Minangkabau dan Syekh Abdul Muhyi al Garuti yang berjasa
menyebarkan pendidikan Islam di Jawa Barat. Karya-karya susastra dan keagamaan
dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam. Kerajaan-kerajaan Islam
itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yang sama, yaitu Islam. Hal itu
menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang makin erat.
Di Banten, fungsi istana sebagai
lembaga pendidikan juga sangat mencolok. Bahkan pada abad ke-17, Banten sudah
menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam di pulau Jawa. Para ulama dari berbagai
negara menjadikan Banten sebagai tempat untuk belajar. Martin van Bruinessen
menyatakan, “Pendidikan agama cukup menonjol ketika Belanda datang untuk
pertama kalinya pada 1596 dan menyaksikan bahwa orang-orang Banten memiliki
guru-guru yang berasal dari Mekkah”.
Di Palembang, istana (keraton) juga
difungsikan sebagai pusat sastra dan ilmu agama. Banyak Sultan Palembang yang
mendorong perkembangan intelektual keagamaan, seperti Sultan Ahmad Najamuddin I
(1757-1774) dan Sultan Muhammad Baha’uddin (1774-1804). Pada masa pemerintahan
mereka, telah muncul banyak ilmuwan asal Palembang yang produktif melahirkan
karyakarya ilmiah keagamaan: ilmu tauhid, ilmu kalam, tasawuf, tarekat, tarikh,
dan al-Qur’an. Perhatian sultan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam
tercermin pada keberadaan perpustakaan keraton yang memiliki koleksi yang cukup
lengkap dan rapi.
Berkembangnya
pendidikan dan pengajaran Islam, telah berhasil menyatukan wilayah Nusantara
yang sangat luas. Dua hal yang mempercepat proses itu yaitu penggunaan aksara
Arab dan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu (lingua franca). Semua ilmu
yang diberikan di lembaga pendidikan Islam di Nusantara ditulis dalam aksara
Arab, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Melayu atau Jawa. Aksara Arab
itu disebut dengan banyak sebutan, seperti huruf Jawi (di Melayu) dan huruf
pegon (di Jawa). Luasnya penguasaan aksara Arab ke Nusantara telah membuat para
pengunjung asal Eropa ke Asia Tenggara terpukau oleh tingginya tingkat
kemampuan baca tulis yang mereka jumpai.
Pada 1579, orang Spanyol merampas
sebuah kapal kecil dari Brunei. Orang Spanyol itu menguji apakah orang-orang
Melayu yang menyatakan diri sebagai budak-budak sultan itu dapat menulis. Dua
dari tujuh orang itu dapat (menulis), dan semuanya mampu membaca surat kabar
berbahasa Melayu sendiri-sendiri.
Berkembangnya pendidikan Islam di
istana-istana raja seolah menjadi pendorong munculnya pendidikan dan pengajaran
di masyarakat. Setelah terbentuknya berbagai ulama hasil didikan dari
istana-istana, maka murid-muridnya melakukan pendidikan ke tingkatan yang lebih
luas, dengan dilangsungkannya pendidikan di rumah-rumah ulama untuk masyarakat
umum, khususnya sebagai tempat pendidikan dasar, layaknya kuttâb di wilayah
Arab.
Sebagaimana kuttâb (lembaga
pendidikan dasar di Arab sejak masa Rasulullah) yang biasa mengambil tempat di
rumah-rumah ulama, di Nusantara pendidikan dasar berlangsung di rumah-rumah
guru. Pelajaran yang diberikan terutama membaca al-Qur’an, menghafal ayat-ayat
pendek, dan belajar bacaan salat lima waktu. Dan ini diperkirakan sama tuanya
dengan kehadiran Islam di wilayah ini. Di Nusantara, masjid-masjid yang berada
di permukiman penduduk yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat menjalankan
fungsi pendidikan dan pengajaran untuk masyarakat umum.
Di sinilah terjadi demokratisasi
pendidikan dalam sejarah Islam. Demikianlah yang terjadi di wilayah-wilayah
Islam di Nusantara, seperti Malaka dan kemudian Johor, Aceh Darussalam,
Minangkabau, Palembang, Demak, Cirebon, Banten, Pajang, Mataram, Gowa-Tallo,
Bone, Ternate, Tidore, Banjar, Papua dan lain sebagainya. Bahkan mungkin karena
memiliki tingkat otonomi dan kebebasan tertentu, di masjid proses pendidikan
dan pengajaran mengalami perkembangan. Tidak jarang di antaranya berkembang
menjadi sebuah lembaga pendidikan yang cukup kompleks, seperti meunasah di
Aceh, surau di Minangkabau, langgar di Kalimantan dan pesantren di Jawa.
BAB III
PENUTUP
Pada
abad 1 Masehi, jalur perdagangan tidak lagi melewati jalur darat (jalur sutera)
tetapi beralih kejalur laut, sehingga secara tidak langsung perdagangan antara
Cina dan India melewati selat Malaka. Untuk itu Indonesia ikut berperan aktif
dalam perdagangan tersebut. Akibat hubungan dagang tersebut, maka terjadilah
kontak/hubungan antara Indonesia dengan India, dan Indonesia dengan Cina. Hal
inilah yang menjadi salah satu penyebab masuknya budaya India ataupun budaya
Cina ke Indonesia.
Mengenai
siapa yang membawa atau menyebarkan agama Hindu – Budha ke Indonesia, tidak
dapat diketahui secara pasti, walaupun demikian para ahli memberikan pendapat
tentang proses masuknya agama Hindu – Budha atau kebudayaan India ke Indonesia.
Untuk agama Budha diduga adanya misi penyiar agama Budha yang disebut dengan Dharmaduta,
dan diperkirakan abad 2 Masehi agama Budha masuk ke Indonesia. Hal ini dibuktikan
dengan adanya penemuan arca Budha yang terbuat dari perunggu diberbagai daerah
di Indonesia antara lain Sempaga (Sulsel), Jember (Jatim), Bukit Siguntang
(Sumsel).
Dilihat
ciri-cirinya, arca tersebut berasal dari langgam Amarawati (India Selatan) dari
abad 2 – 5 Masehi. Dan di samping itu juga ditemukan arca perunggu berlanggam
Gandhara (India Utara) di Kota Bangun, Kutai (Kaltim).
Subscribe to:
Comments (Atom)






