Saturday, 30 April 2016

KLIPING INTERNET, PENGERTIAN INTERNET

Makalah Proses Integrasi Nusantara

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang      
            Islam dan Proses Integrasi - Integrasi suatu bangsa adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan adanya integrasi akan melahirkan satu kekuatan bangsa yang ampuh dan segala persoalan yang timbul dapat dihadapi bersama-sama. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah wujud konkret dari proses integrasi bangsa. Proses integrasi bangsa Indonesia ini ternyata sudah berlangsung cukup lama bahkan sudah dimulai sejak awal tarikh masehi. Pada abad ke-16 proses integrasi bangsa Indonesia mulai menonjol. Masa itu adalah masa-masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.
1.   Peranan Para Ulama dalam Proses Integrasi
      Agama Islam yang masuk dan berkembang di Nusantara mengajarkan kebersamaan dan mengembangkan toleransi dalam kehidupan beragama. Islam mengajarkan persamaan dan tidak mengenal kasta-kasta dalam kehidupan masyarakat. Konsep ajaran Islam memunculkan perilaku ke arah persatuan dan persamaan derajat. Disisi lain, datangnya pedagang-pedagang Islam di Indonesia mendorong berkembangnya tempat-tempat perdagangan di daerah pantai. Tempat-tempat perdagangan itu kemudian berkembang menjadi pelabuhan dan kota-kota pantai. Bahkan kota-kota pantai yang merupakan bandar dan pusat perdagangan, berkembang menjadi kerajaan. Timbulnya kerajaan-kerajaan Islam menandai awal terjadinya proses integrasi. Meskipun masing-masing kerajaan memiliki cara dan faktor pendukung yang berbeda-beda dalam proses integrasinya.
2.   Peran Perdagangan Antarpulau
      Proses integrasi juga terlihat melalui kegiatan pelayaran dan perdagangan antarpulau. Sejak zaman kuno, kegiatan pelayaran dan perdagangan sudah berlangsung di Kepulauan Indonesia. Pelayaran dan perdagangan itu berlangsung dari daerah yang satu ke daerah yang lain, bahkan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Kegiatan pelayaran dan perdagangan pada umumnya berlangsung dalam waktu yang lama. Hal ini, menimbulkan pergaulan dan hubungan kebudayaan antara para pedagang dengan penduduk setempat. Kegiatan semacam ini mendorong terjadinya proses integrasi.
3.   Peran Bahasa
      Perlu juga kamu pahami bahwa bahasa juga memiliki peran yang strategis dalam proses integrasi. Kamu tahu bahwa Kepulauan Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau yang dihuni oleh aneka ragam suku bangsa. Tiap-tiap suku bangsa memiliki bahasa masing-masing. Untuk mempermudah komunikasi antarsuku bangsa, diperlukan satu bahasa yang menjadi bahasa perantara dan dapat dimengerti oleh semua suku bangsa. Jika tidak memiliki kesamaan bahasa, persatuan tidak terjadi karena di antara suku bangsa timbul kecurigaan dan prasangka lain. Bahasa merupakan sarana pergaulan. Bahasa Melayu digunakan hampir di semua pelabuhan-pelabuhan di Kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu sejak zaman kuno sudah menjadi bahasa resmi negara Melayu (Jambi). 

B. Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui Proses Integrasi Nusantara















BAB II
PEMBAHASAN

Proses integrasi Nusantara
            Mengapa berkembangnya Islam di Indonesia menjadi faktor yang mempercepat proses integrasi bangsa Indonesia? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut dapat dilihat secara etis, kultural, historis, dan ideologis.
1) Etis
            Secara etis ajaran Islam tidak mengakui adanya perbedaan golongan dalam masyarakat. Dapat dikatakan bahwa ajaran Islam lebih bersifat demokratis dibandingkan dengan ajaran atau kepercayaan yang dianut bangsa Indonesia sebelum masuknya Islam. Selain itu agama Islam tidak mengenal perbedaan kasta, golongan, dan lain-lain.
            Menurut ajaran Islam, semua orang yang menganut Islam dianggap sebagai saudara dan memiliki kedudukan yang sama. Cara pandang seperti ini dipraktikkan oleh para pedagang Islam di seluruh Nusantara dalam pergaulan di kota-kota pelabuhan Nusantara. Di kota-kota dagang Nusantara, seperti, Malaka, Pasai, Banten, Cirebon, Tuban, Demak, Makasar, Ambon dan lain-lain, terjadi hubungan yang egaliter (berada dalam posisi yang sama). Misalnya, para pedagang yang berada di Malaka, Banten, dan lain-lain menganggap para pedagang Islam yang berasal dari berbagai daerah dan suku bangsa Indonesia sebagai saudara. Terjadilah keterikatan dan persaudaraan di antara mereka, perbedaan latar belakang suku, adat-istiadat, bahasa, tradisi, dan lain-lain menjadi tidak penting karena semuanya merasa berada dalam satu pandangan dan kedudukan yang sama. Mereka merasa bersatu karena pandangan yang sama tersebut.
Dari persamaan pandangan mengenai etika sosial tersebut, terdapat dua hal yang dipengaruhinya. Pertama, perdagangan di antara orang-orang Islam berkembang dengan pesat. Masuknya Islam ke Indonesia terjadi melalui proses perdagangan. Dengan adanya perdagangan tersebut, selain Islam menyebar di Nusantara, perdagangan di kepulauan ini pun ikut berkembang pesat.
            Faktor etika sosial yang dianut para pedagang Nusantara berpengaruh terhadap perkembangan kegiatan ekonomi dagang. Kedua, adanya pandangan tersebut telah mendorong terciptanya perasaan terintegrasi di antara para pedagang penganut Islam yang memiliki latar belakang berbeda-beda. Tampaknya, dalam kegiatan dagang, faktor perbedaan etnis, budaya, bahasa, dan lain-lain diabaikan. Mereka beranggapan bahwa yang terpenting adalah keuntungan. Keuntungan tersebut harus dinikmati bersama-sama di antara penganut agama yang sama.
            Para pedagang Islam dan penganut Islam di Indonesia pada awal perkembangannya tidak memusuhi penganut kepercayaan lain. Seperti telah dijelaskan pada bab terdahulu, dalam proses penyebaran Islam tidak dicatat dalam sejarah bahwa orang-orang Islam memerangi pemeluk agama lain.

2) Kultural
            Secara kultural (budaya), pemeluk Islam di Indonesia tidak mempertentangkan ajaran Islam dengan adat-istiadat atau kepercayaan yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Budha. Sebagian besar wali yang menyebarkan Islam di jawa menggunakan pendekatan budaya setempat untuk menyebarkan Islam. Para wali dan ulama penganut ajaran tasawuf berpandangan bahwa para penganut ajaran lain harus tetap dihormati. Mereka juga berpandangan bahwa pemeluk kepercayaan lain harus didekati dengan metode yang paling bisa diterima oleh mereka.
            Dilihat dari awal perkembangan Islam di Indonesia tampaknya kita sampai pada kesimpulan bahwa perbedaan kepercayaan, tradisi, dan adat istiadat bukan merupakan faktor disintegrasi, melainkan sebaliknya. Sikap para pedagang, penyebar Islam, dan penganut Islam Indonesia yang dapat menyesuaikan diri (akomodatif) terhadap perbedaan pandangan, adat-istiadat dan kepercayaan setempat yang telah lebih dulu dianut menyebabkan tidak terjadinya konflik budaya.
            Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia tidak menimbulkan benturan-benturan antara budaya Islam dengan budaya setempat. Adanya sikap akomodatif tersebut malah mempercepat terjadinya akulturasi dan melahirkan kebudayaan khas Indonesia. Sikap toleransi pemeluk Islam terhadap pemeluk kepercayaan lain menjadi salah satu faktor yang membantu terjadinya proses integrasi bangsa.
            Hasil akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan lokal Indonesia, baik dalam bentuk gagasan maupun dalam bentuk fisik telah melahirkan identitas baru di kalangan pemeluk Islam di Indonesia. Ternyata, kebudayaan Islam di Indonesia berbeda dengan kebudayaan Islam di negara-negara Islam lain. Kekhasan dan persamaan kebudayaan Islam Indonesia yang dianut oleh suku-suku bangsa Indonesia menciptakan perasaan bersatu di antara pemeluk-pemeluknya. Dengan demikian, hasil akulturasi menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses integrasi bangsa.
Sikap toleransi dalam aspek budaya dapat juga dilihat dalam praktik perdagangan. Para pedagang Islam berpandangan bahwa mereka bisa berdagang dengan siapa pun tanpa melihat latar belakang agama. Secara kultural, para pedagang Islam memiliki sikap terbuka terhadap perbedaan suku bangsa, agama, dan golongan dalam kegiatan dagang.
            Misalnya, para pedagang Islam di Malaka, Banten, Makasar, dan lain-lain bukan hanya berdagang dengan pedagang Islam dari Arab, Persia, Gujarat, melainkan dengan para pedagang non-Islam dari Cina, Champa, dan lain-lain. Jadi secara historis, walaupun perdagangan pada abad 14-17 didominasi para pedagang Islam, mereka bersedia berdagang dengan siapa pun tanpa melihat perbedaan latar belakang bangsa dan agama.
            Para pedagang Nusantara tidak menentang bangsa asing yang berdagang di perairan Indonesia. Mereka beranggapan bahwa yang terpenting dalam perdagangan adalah keuntungan yang bisa diraih. Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, walaupun berambisi menguasai jalur penting dagang, beranggapan bahwa laut merupakan wilayah terbuka yang bisa digunakan oleh siapa pun. Pandangan seperti ini antara lain dianut oleh kerajaan Islam Makasar. Sikap terbuka tersebut telah membantu proses integrasi karena dengan demikian para pedagang Nusantara bisa berdagang dengan berbagai pedagang, baik dari Nusantara maupun mancanegara.

3) Historis
            Secara historis, ternyata sikap terbuka tersebut disalahgunakan oleh kekuatan asing yang ingin menguasai sumber barang dagangan. Mereka berambisi untuk menguasai claerah penghasil rempah-rempah. Jatuhnya Malaka ke tangan bangsa Portugis tahun 1511 adalah bukti adanya pemaksaan kehendak pedagang Barat dalam menguasai wilayah dagang.
            Peristiwa jatuhnya pelabuhan Malaka tersebut merupakan awal perubahan sikap pedagang Nusantara. Sejak peristiwa itu, para pedagang Nusantara mulai berhati-hati dengan pedagang asing terutama dari Barat (Eropa). Para pedagang Islam mulai menyadari bahwa datangnya para pedagang Portugis di kepulauan Nusantara bukan hanya ingin berdagang, melainkan juga memiliki tujuan politis dan historis, yaitu ingin menghancurkan kekuatan Islam.
            Mengapa bangsa Portugis ingin menghancurkan kekuatan Islam? Latar belakang historisnya dapat dilihat mengenai ekspansi kekuasaan Dinasti Umayyah di Cordoba. Ternyata, penaklukkan Jazirah Iberia (wilayah bangsa Portugis dan Spanyol) oleh dinasti Islam Umayyah abad ke-7 M dan disusul dengan kekuasaan Islam atas wilayah Eropa lainnya sampai abad ke-15, serta jatuhnya Konstantinopel, ibukota Romawi Timur, ke tangan kerajaan Islam Turki Usmania tahun 1453, menimbulkan kebencian bangsa Eropa terhadap kekuatan Islam yang pernah menaklukkannya.
            Bangsa Portugis dan Spanyol yang secara historis pernah dikuasai oleh orang-orang Islam ingin membalas dendam penaklukkan tersebut. Didukung oleh faktor ambisi mengejar kejayaan, menguasai sumber perdagangan rempah-rempah, dan misi agama, mereka berusaha untuk menjelajah dunia dan menguasai jalur dagang internasional yang pada umumnya dikuasai oleh para pedagang Islam. Dengan ambisi tersebut, satu per satu kekuatan Islam diperangi dan pelabuhan-pelabuhannya diduduki.
            Setelah berhasil melalui pantai barat, selatan, dan timur Afrika, mereka sampai ke Samudera Hindia dan bertemu dengan pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan sepanjang jalur tersebut. Akhirnya mereka sampai di Malaka dan berhasil menaklukkan dan menguasai pelabuhan itu tahun 1511. Setelah berhasil merebut Malaka, bangsa Portugis terus berusaha menaklukkan kekuatan-kekuatan Islam lainnya di Nusantara, antara lain, Pelabuhan Banten, Ambon, dan Maluku.
            Tindakan bangsa Portugis tersebut disusul oleh bangsa Belanda yang memiliki ambisi sama. Bangsa Belanda pun berusaha untuk menguasai sumber penghasil rempah-rempah dan pelabuhan-pelabuhan penting kerajaan Islam Nusantara. Dengan cara memecah belah (devide at impera), satu per satu pelabuhan-pelabuhan penting Nusantara dikuasainya, seperti Sunda Kelapa, Ambon, Makasar, Demak, Cirebon, dan lain-lain.
            Peranan Islam dalam proses integrasi telah dipengaruhi oleh perkembangan historis di atas. Berdasarkan perkembangan tersebut, para pedagang Islam serta kerajaan-kerajaan Islam Nusantara melihat bahwa kedatangan orang-orang Barat bukan hanya untuk berdagang, melainkan juga untuk menaklukkan kekuasaan Islam di Nusantara. Mereka mulai sadar bahwa kekuatan asing telah menyalahgunakan keterbukaan sikap pedagang Islam dan keterbukaan laut Nusantara.
            Akibat dari perkembangan historis tersebut, adalah Pertama, peranan pedagang Islam di Laut Nusantara mengalami kemunduran karena para pedagang asing (Barat) mulai memonopoli perdagangan di kawasan tersebut.
Kedua, Islam telah dijadikan sebagai satu kekuatan pemersatu untuk melawan kekuatan asing. Akal bulus datangnya bangsa Barat tersebut justru telah menyatukan kerajaan-kerajaan Islam atas dasar azas yang sama yaitu agama Islam dalam menghadapi Barat. Walaupun mereka tidak bersatu secara politis, akan tetapi telah terdapat kesamaan pandangan di kalangan umat Islam saat itu bahwa kekuatan asing tersebut akan menghancurkan kekuatan Islam. Oleh karena itu, Islam digunakan sebagai satu kekuatan azasi untuk mengusir penjajah. Kesamaan pandangan tersebut membuktikan bahwa Islam telah mempercepat proses integrasi.

4) Ideologis
            Perlawanan daerah-daerah di Indonesia terhadap kekuatan Belanda pada abad ke-19 merupakan bukti bahwa Islam telah digunakan sebagai kekuatan azasi dan yang telah dianut masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu itu dimanfaatkan oleh para pemimpin perlawanan di daerah yang pada umumnya kharismatis dan memiliki pengetahuan agama Islam yang mendalam.
            Dengan kekuatan tersebut, semangat untuk mengusir penjajah semakin besar. Rakyat yang berada di bawah pemimpin kharismatis percaya bahwa Belanda adalah kafir, dan musuh Islam. Dengan semangat perang sabil, perlawanan di daerah pada abad ke-19 merupakan perang yang telah merepotkan pemerintah kolonial Belanda.
            Contoh-contoh yang menunjukkan bahwa Islam telah digunakan sebagai kekuatan azasi dapat dilihat dalam Perang Saparua (1817), Perang Paderi (1819-1832), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjarmasin (1852, 1859, 1862), Perang Aceh (1873-1912), dan Perlawanan Petani Banten (1888). Walaupun perang-perang tersebut masih bersifat kedaerahan, secara historis dapat dikatakan bahwa perang yang dilandasi oleh kekuatan ideologis Islam itu telah menjadi dasar bagi lahirnya nasionalisme Indonesia pada awal abad ke-20.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan


            Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa secara etis, sosial-budaya, ideologis,dan historis, Islam memiliki peran yang besar dalam proses integrasi bangsa. Sebenarnya, dasar-dasar gerakan nasionalisme atau gerakan kebangsaan Indonesia pada awal abad ke-20 telah diletakkan sejak tumbuh dan berkembangnya penganut serta kekuatan politik Islam di Nusantara, yaitu sejak abad ke-16.

Makalah Kedatangan Islam ke Nusantara

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
            Pada masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia terdapat beraneka ragam suku bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, dan sosial budaya. Suku bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman, jika dilihat dari sudut antropologi budaya, belum banyak mengalami percampuran jenis-jenis bangsa dan budaya dari luar, seperti dari India, Persia, Arab, dan Eropa. Struktur sosial, ekonomi, dan budayanya agak statis dibandingkan dengan suku bangsa yang mendiami daerah pesisir. Mereka yang berdiam di pesisir, lebih-lebih di kota pelabuhan, menunjukkan ciri-ciri fisik dan sosial budaya yang lebih berkembang akibat percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.

Proses Islamisasi di Indonesia
Dalam masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia, terdapat negara-negara yang bercorak Indonesia-Hindu. Di Sumatra terdapat kerajaan Sriwijaya dan Melayu; di Jawa, Majapahit; di Sunda, Pajajaran; dan di Kalimantan, Daha dan Kutai. Agama Islam yang datang ke Indonesia mendapat perhatian khusus dari kebanyakan rakyat yang telah memeluk agama Hindu. Agama Islam dipandang lebih baik oleh rakyat yang semula menganut agama Hindu, karena Islam tidak mengenal kasta, dan Islam tidak mengenal perbedaan golongan dalam masyarakat. Daya penarik Islam bagi pedagangpedagang yang hidup di bawah kekuasaan raja-raja Indonesia-Hindu agaknya ditemukan pada pemikiran orang kecil. Islam memberikan sesuatu persamaan bagi pribadinya sebagai anggota masyarakat muslim. Sedangkan menurut alam pikiran agama Hindu, ia hanyalah makhluk yang lebih rendah derajatnya daripada kasta-kasta lain. Di dalam Islam, ia merasa dirinya sama atau bahkan lebih tinggi dari pada orang-orang yang bukan muslim, meskipun dalam struktur masyarakat menempati kedudukan bawahan.

Proses islamisasi di Indonesia terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dua pihak: orang-orang muslim pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat Indonesia sendiri yang menerimanya. Dalam masa-masa kegoncangan politik, ekonomi, dan sosial budaya, Islam sebagai agama dengan mudah dapat memasuki & mengisi masyarakat yang sedang mencari pegangan hidup, lebih-lebih cara-cara yg ditempuh oleh orang-orang muslim dalam menyebarkan agama Islam, yaitu menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya yang telah ada. Dengan demikian, pada tahap permulaan islamisasi dilakukan dengan saling pengertian akan kebutuhan & disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Pembawa dan penyebar agama Islam pada masa-masa permulaan adalah golongan pedagang, yang sebenarnya menjadikan faktor ekonomi perdagangan sebagai pendorong utama untuk berkunjung ke Indonesia. Hal itu bersamaan waktunya dengan masa perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional antara negeri-negeri di bagian barat, tenggara, dan timur Asia.

B. Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui kedatangan Islam ke Nusantara 


















BAB II
PEMBAHASAN

Penyebaran islam merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia dan juga paling tidak jelas sumbernya. Secara umum ada dua proses yang mungkin telah terjadi. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama islam kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia yang telah memeluk agama islam tinggal secara tetap di suatu wilayah Indonesia .Ruang ligkup kajian sejarah islam, Indonesai sejak abad 14 sampai abad ke19 yang menjadi perhatian para sejarawan adalah bagaimana proses masuknya islam di Asia Tenggara termasuk nusantara, darimana asal islam, siapa yang membawa serta pengaruh yang dihasilkan akibat islamisasi tersebut. Banyak para ahli yang mengemukakan teori tentang kapan islam datang, dari mana asalnya, serta siapa pembawa islam tersebut. Berikut adalah beberapa teori yang di kemukakan oleh para ahli yang menjelaskan tentang darimana, siapa yang membawa, serta bukti yang ada tentang masuknya islam ke nusantara.
 Pijnappel mengemukakan bahwa asal islam adalah dari Gujarat/ Malabar, yang dibawa oleh Orang-orang yang bermadzhab syafi’i yang berimigarasi dan menetap di wilayah India. Snouck Hurgronje, menerangkan islam datang ke nusantara pada abad ke-12, yan berasal dari anak benua India, dan di bawa oleh Para pedagang yang sebagai perantara perdagangan Timur Tengah dengan nusantara datang ke dunia Melayu, kemudian di susul dengan orang-orang arab yang kebanyakan keturunan Nabi. Moquette, menerangkan bahwa islam berasal dari Gujarat, yang di bawa oleh Para pengimpor batu nisan dari gujarat dengan mengimpor batu nisan ini maka orang nusantara mengambil islam,

2.1  Proses Islamisasi di Nusantara
            Menurut Hasan Muarif Ambary ada tiga tahap proses islami­sasi di Nusantara. Pertama, fase kehadiran para pedagang muslim (abad ke-1 sampai ke-4 H). Sejak permulaan abad Masehi kapal-kapal dagang Arab sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara. Akan tetapi apakah ada data tentang masuknya penduduk asli ke dalam Islam? Meskipun ada dugaan bahwa dalam abad ke-1 sampai ke-4 H terdapat hubungan perkawinan antara pe­dagang muslim dengan penduduk setempat, sehingga mereka memeluk agama Islam. Pada abad ke 1-4 H / 7-10 M Jawa tidak disebut-sebut sebagai tempat persinggahan pedagang. Mengenai adanya makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik dengan angka tahun 475 H/1082 M bentuk maesan dan jiratnya menunjukkan pola gaya hias makam dari abad ke-16 M. Fatimi berpendapat bahwa nisan itu ditulis oleh orang Syiah dan ia bukan seorang muslim Jawa, tetapi seorang pendatang yang sebelumnya bermukim di timur jauh.
2.2.Proses Islamisasi di Sumatera
            Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam.
Adanya berita dari Marcopolo yang mengatakan bahwa ketika ia mengunjungi Sumatera penduduk Sumatera Utara beragama Hindu kecuali Ferlec yang sudah beragama Islam dan adanya batu nisan kubur di Aceh dengan nama Sultan Al Malik al-Saleh yang berangka tahun wafat 1297 M menandakan bahwa Islam sudah tumbuh dan berkembang di wilayah Sumatera. Adapun teori yang mengatakan Islam masuk Indonesia abad ke-7 M, tidak lebih realitas “masuknya” yang dibawa oleh para pedagang muslim karena dalam perjalanan pelayaran dagang mereka ke dan dari Cina selalu singgah
2.3.   Proses Islamisasi di Jawa
            Sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, di Jawa telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu dan kerajaan-kerajaan Budha yang cukup kokoh dan tangguh, bahkan sampai saat ini hasil peradabannya masih dapat disaksikan. Misalnya, candi Borobudur yang merupakan peninggalan Budha Mahayana dan kelompok candi Roro Jonggrang di desa Prambanan dan peninggalan-peninggalan lainnya yang tersebar di Jawa.Setelah agama Islam datang di Jawa dan Kerajaan Majapahit semakin merosot pengaruhnya di masyarakat, terjadilah pergeseran di bidang politik.
            Menurut Sartono, islamisasi menunjukkan suatu proses yang terjadi cepat, terutama sebagai hasil dakwah para wali sebagai perintis dan penyebar agama Islam di Jawa. Di samping kewibawaan rohaniah, para wali juga berpengaruh dalam bidang politik, bahkan ada yang memegang pemerintahan. Otoritas kharismatis mereka merupakan ancaman bagi raja-raja Hindu di pedalaman.


 2.4. Persialangan Budaya di Nusantara
            Indonesia secara tepat digambarkan Bung Karno sebagai “taman sari dunia”.  Sebagai “negara kepulauan” terbesar di dunia, yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan sumberdaya yang berlimpah, Indonesia sejak lama menjadi titik-temu penjelajahan bahari yang membawa berbagai arus peradaban.
            Menurut Denys Lombard (1996: I, 1), “Sungguh tak ada satu pun tempat di dunia ini—kecuali mungkin Asia Tengah—yang, seperti Nusantara, menjadi tempat kehadiran hampir semua kebudayaan besar dunia, berdampingan atau lebur menjadi satu.” Dia melukiskan adanya beberapa ‘nebula sosial-budaya’ yang secara kuat mempengaruhi peradaban Nusantara (secara khusus Jawa): Indianisasi, jaringan Asia (Islam dan China), serta arus pembaratan. 
            Pengaruh Indianisasi (Hindu-Budha) mulai dirasakan pada abad ke-5, bersama kemunculan dua kerajaan yang terkenal, Kerajaan Mulawarman di Kalimantan Timur dan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat sebagai pengikut setia Wisnu, yang kemudian berkembang secara luas dan dalam hingga seribu tahun kemudian (abad ke-15), terutama di Sumatra, Jawa dan Bali. Struktur konsentris kosmologi India berpengaruh pada mentalitas orang-orang di wilayah tersebut, terlebih di Jawa dan Bali, seperti tampak pada cara berfikir dan sistem tata susila, juga dalam upacara-upacara dan ungkapan seni. 
            Pengaruh Islamisasi mulai dirasakan secara kuat pada abad ke-13, dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Kerajaan Samudera-Pasai di sekitar Aceh. Dari ujung Barat Nusantara, pengaruh Islam secara cepat meluas ke bagian Timur meresapi wilayah-wilayah yang sebelumnya dipengaruhi Hindu-Budha, yang akselarasinya dipercepat justru oleh penetrasi kekuatan-kekuatan Eropa di Nusantara sejak abad ke-16. Kehadiran Islam membawa perubahan penting dalam pandangan dunia (world view) dan etos masyarakat Nusantara, terutama, pada mulanya, bagi masyarakat wilayah pesisir. Islam meratakan jalan bagi modernitas dengan memunculkan masyarakat perkotaan dengan konsepsi ‘kesetaraan’ dalam hubungan antarmanusia, konsepsi ‘pribadi’ (nafs, personne) yang mengarah pada pertanggungjawaban individu, serta konsepsi waktu (sejarah) yang ‘linear’, menggantikan konsepsi sejarah yang melingkar (Lombard, 1996: II, 149-242). 
            Pengaruh China hampir bersamaan dan saling meresapi (osmosis) dengan pengaruh Islam, yang mulai dirasakan setidaknya sejak abad ke-14 (zaman Dinasti Ming di China), ketika imigran-imigran baru dari Fujian dan Guangdong tiba di Nusantara, dan segera membaur ke dalam struktur sosial-budaya yang ada tanpa hambatan berarti (Coppel, 1983). Kehadiran anasir China berperan penting dalam memperkenalkan dan mengembangkan teknik produksi berbagai komoditi (gula, arak dan lain-lain), pemanfaatan laut untuk perikanan, pembudidayaan tiram dan udang, dan pembuatan garam, pengadopsian teknik serta perlengkapan perdagangan, gaya hidup  (arsitektur, perhiasan, hiburan,  tontonan, beladiri, dan romannya), peran sosial-budaya klenteng serta keterlibatan ulama keturunan China dalam proses Islamisasi (Lombard, 1996: II, 243-337).  
            Pengaruh pembaratan diperkenalkan oleh kehadiran Portugis pada abad ke-16, disusul oleh Belanda dan Inggris. Tetapi aktor utamanya tak pelak lagi adalah Belanda. Sejak kedatangan armada pertama Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada 1596, yang disusul oleh operasi ’Serikat Perseroan Hindia Belanda’ (VOC) sejak 1602, secara berangsur proses pembaratan mulai dirasakan. Dengan jatuhnya VOC pada tahun 1799,  hegemoni atas Hindia diserahkan dari ‘perusahaan-swasta-kolonial’ kepada imperium negara-kolonial. Negara kolonial Belanda mulai menancapkan pengaruhnya setelah kekuasaan sementara Inggris selama perang Napoleon (1811-1816). 
            Sejak itu, sebagian besar kepulauan Nusantara secara berangsur dan berbeda-beda diintegrasikan ke dalam satu wilayah kekuasaan kolonial, yang mentransformasikan pusat-pusat kekuasaan yang terpencar ke dalam suatu negara kesatuan kolonial.  Intensifikasi proses pembaratan terjadi selama masa rezim ‘Liberal’ pada paruh kedua abad ke-19 yang dilanjutkan oleh rezim ‘Politik Etis’ pada awal ke-20 (Latif, 2005). 
            Pengaruh pembaratan membawa mentalitas modern yang telah dibuka oleh pengaruh Islam menuju perkembangan yang lebih luas dan dalam. Pada bidang sosial-ekonomi, pengaruh Barat memunculkan sistem perkebunan, perusahaan dan perbankan modern, pemakaian besi, perkembangan angkutan, khususnya kereta api, dan pengobatan modern. Pada bidang sosial-politik, pengaruhnya dirasakan pada modernisasi tata-kelola negara dan masyarakat, klub sosial, organisasi, dan bahasa politik modern. Pada bidang sosial-budaya, pengaruhnya tampak pada kehadiran lembaga pendidikan dan penelitian modern, perkembangan tulisan latin, percetakan dan pers, dan gaya hidup (Lombard, 1996: I). 
            Sedemikian ramainya penetrasi global silih berganti, sehingga Nusantara sebagai tempat persilangan jalan (carrefour) tidak pernah sempat berkembang tanpa gangguan dan pengaruh dari luar. Akan tetapi, seperti dikatakan oleh Denys Lombard (1996), situasi demikian tidak perlu dipandang sebagai kerugian. Posisi sebuah negeri pada persilangan jalan, pada titik pertemuan berbagai dunia dan kebudayaan, jika dikelola secara baik, mungkin dalam evolusi sejarahnya bisa membawa keuntungan, kalau bukan syarat untuk terjadinya peradaban agung. 

2.3. Bukti – Bukti Peninggalan Islam di Indonesia
·         Masjid Agung Banten (bangun beratap tumpang
·         Masjid Demak (dibangun para wali
·         Karya seni  atau kaligrafi  
·         Nisan Di Leran, Gresik (Jawa timur) terdapat batu nisan bertuliskan bahasa dan huruf Arab, yang memuat keterangan tentang meninggalnya seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 475 Hijriah (1082 M);
·         Karya sastra
Karya sastra yang dihasilkan cukup beragam. Para seniman muslim menghasilkan beberapa karya sastra antara lain berupa syair, hikayat, suluk, babad, dan kitab-kitab.Bukti-bukti peninggalan syair yang ada di nusantara antara lain :
§  Syair Perahu,karya Hamzah Fanzuriyang hidup di aceh pada masa pemerintahan sultan Alaidin Riayat Syah Syidil Mukam II (1589-1604)),Syair ini berisi pengajaran tentang adap.
§  Syair Kompeni Walanda,yang di dalamnya berisitentang riwayat Nabi.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Proses islamisasi tidak mempunyai awal yang pasti, juga tidak berakhir. Islamisasi lebih merupakan proses berkesinambungan yang selain mempengaruhi masa kini, juga masa yang akan datang.Islam telah dipengaruhi oleh lingkungannya, tempat Islam ber-pijak dan berkembang. Di samping itu, Islam juga menjadi tra-disi tersendiri yang tertanam dalam konteks
            Agama Islam juga membawa perubahan sosial dan budaya, yakni memperhalus dan memperkembangkan budaya Indonesia. Penyesuaian antara adat dan syariah di berbagai daerah di Indonesia selalu terjadi, meskipun kadang-kadang dalam taraf permulaan mengalami proses pertentangan dalam masyarakat. Meskipun demikian, proses islamisasi di berbagai tempat di Indonesia dilakukan dengan cara yang dapat diterima oleh rakyat setempat, sehingga kehidupan keagamaan masyarakat pada umumnya menunjukkan unsur campuran antara Islam dengan kepercayaan sebelumnya. Hal tersebut dilakukan oleh penyebar Islam karena di Indonesia telah sejak lama terdapat agama (Hindu-Budha) dan kepercayaan animisme.
            Pada umumnya kedatangan Islam dan cara menyebarkannya kepada golongan bangsawan maupun rakyat umum dilakukan dengan cara damai, melalui perdagangan sebagai sarana dakwah oleh para mubalig atau orang-orang alim. Kadang-kadang pula golongan bangsawan menjadikan Islam sebagai alat politik untuk mempertahankan atau mencapai kedudukannya, terutama dalam mewujudkan suatu kerajaan Islam.









Daftar  Pustaka
C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modem (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1991), him.
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002) hlm.20-21
P.A. Hosein Djadjadiningrat, “Islam di Indonesia”, dalam Kennet Morgan, ed., Islam Djalan Mutlak, terj. Abu Salamah, ddk. (Djakarta : PT. Pembangunan, 1963), hlm. 99-140
Buku Silang Budaya Tiongkok Indonesia – Prof Kong Yuanzhi


Makalah Jaringan Keilmuan Di Nusantara

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

                Perkembangan lembaga pendidikan di masid-masjid kesultanan di tentukan oleh dukungan penguasa. Sultan mendanai kegiatan masjid dan mendatangkan ulama dari mancanegara atau  penduduk pribumi. Para ulama difungsikan sebagai pejabat negara, memberikan pengajaran di masjid negara dan di istana sultan. Sehingga para sultan dan pejabat tinggi juga menimba ilmu dari ulama. Seperti di Kerajaan Samudera Pasai dan Kerajan Malaka. Ketika Samudera Pasai mengalami kemunduran politik, tradisi keilmuannya tetap berlanjut sehingga menjadi pusat studi islam nusantara. Kemudian Kerajaan Malaka masuk islam dan  berkembang menjadi pusat studi islam di asia tenggara. Kemajuan ekonomi membuat Malaka mengundang ulama untuk  berpartisipasi aktif dalam pendidikan islam. Kerajaan Malaka giat melaksanakan pengajian dan  pendidikan islam, sehingga dalam waktu singkat berhasil merubah sikap dan konsepsi agama, kebudayaan dan ilmu  pengetahuan. Pendidikan agama berlangsung di istana,  perpustakaan difungsikan sebagai pusat penyalinan dan  penerjemahan kitab berbahasa arab. Karena perhatian negara tinggi terhadap agama, banyak ulama datang ke Malaka. Mengajar dan menarik para pelajar dari luar untuk datang ke Malaka dan mengajarkan islam di daerah asal sepulang menempuh pendidikan

B. Tujuan Penulisan
                Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui jaringan Keilmuan di Nusantara

BAB II
PEMBAHASAN


Terbentuknya Jaringan Keilmuan di Nusantara
            Pada bagian ini kamu akan memahami hubungan antara Istana sebagai pusat kekuasaan dan pendidikan. Perkembangan lembaga pendidikan dan pengajaran di masjid-masjid kesultanan sangat ditentukan oleh dukungan penguasa. Sultan bukan saja mendanai kegiatan-kegiatan masjid, tetapi juga mendatangkan para ulama, baik dari mancanegara, terutama Timur Tengah, maupun dari kalangan ulama pribumi sendiri. Para ulama yang kemudian juga difungsikan sebagai pejabat-pejabat negara, bukan saja memberikan pengajaran agama Islam di masjid-masjid negara, tetapi juga di istana sultan. Para sultan dan pejabat tinggi rupanya juga menimba ilmu dari para ulama. Seperti halnya yang terjadi di Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Kerajaan Malaka.
            Ketika Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran dalam bidang politik, tradisi keilmuannya tetap berlanjut. Samudera Pasai terus berfungsi sebagai pusat studi Islam di Nusantara. Namun, ketika Kerajaan Malaka telah masuk Islam, pusat studi keislaman tidak lagi hanya dipegang oleh Samudera Pasai. Malaka kemudian juga berkembang sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara, bahkan mungkin dapat dikatakan berhasil menyainginya. Kemajuan ekonomi Kerajaan Malaka telah mengundang banyak ulama dari mancanegara untuk berpartisipasi dengan lebih intensif dalam proses pendidikan dan pembelajaran agama Islam.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYkRqo1hZNVyQCMbAo0XV7Gg8jpEwQQEoUVupFkKiiN3_gEXxbLM4uLta-zmJx-8qvpzLjx_jJfbwhjLMFckHsObJpl7Ji8MmEzj3TPsVRU2xZ5rBN20JU81wajeV6rmziEqhUC4xv0qIx/s1600/Terbentuknya+Jaringan+Keilmuan+di+Nusantara.png


            Kerajaan Malaka dengan giat melaksanakan pengajian dan pendidikan Islam. Hal itu terbukti dengan berhasilnya kerajaan ini dalam waktu singkat melakukan perubahan sikap dan konsepsi masyarakat terhadap agama, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Proses pendidikan dan pengakaran itu sebagian berlangsung di kerajaan. Perpustakaan sudah tersedia di istana dan difungsikan sebagai pusat penyalinan kitab-kitab dan penerjemahannya dari bahasa Arab ke bahasa Melayu. Karena perhatian kerajaan yang tinggi terhadap pendidikan Islam, banyak ulama dari mancanegara yang datang ke Malaka, seperti dari Afghanistan, Malabar, Hindustan, dan terutama dari Arab. Banyaknya para ulama besar dari berbagai negara yang mengajar di Malaka telah menarik para penuntut ilmu dari berbagai kerajaan Islam di Asia Tenggara untuk datang.       Dari Jawa misalnya, Sunan Bonang dan Sunan Giri pernah menuntut ilmu ke Malaka dan setelah menyelesaikan pendidikannya mereka kembali ke Jawa dan mendirikan lembaga pendidikan Islam di tempat masing-masing.
            Hubungan antar kerajaan Islam, misalnya Samudera Pasai, Malaka, dan Aceh Darussalam, sangat bermakna dalam bidang budaya dan keagamaan. Ketiganya tersohor dengan sebutan Serambi Mekkah dan menjadi pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia. Untuk mengintensifkan proses Islamisasi, para ulama telah mengarang, menyadur, dan menerjemahkan karyakarya keilmuan Islam. Sultan Iskandar Muda adalah raja yang sangat memperhatikan pengembangan pendidikan dan pengajaran agama Islam. Ia mendirikan Masjid Raya Baiturrahman, dan memanggil Hamzah al Fanzuri dan Syamsuddin as Sumatrani sebagai penasihat. Syekh Yusuf al Makassari ulama dari Kesultanan Goa di Sulawesi Selatan pernah menuntut ilmu di Aceh Darussalam sebelum melanjutkan ke Mekkah. Melalui pengajaran Abdur Rauf as Singkili telah muncul ulama Minangkabau Syekh Burhanuddin Ulakan yang terkenal sebagai pelopor pendidikan Islam di Minangkabau dan Syekh Abdul Muhyi al Garuti yang berjasa menyebarkan pendidikan Islam di Jawa Barat. Karya-karya susastra dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam. Kerajaan-kerajaan Islam itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yang sama, yaitu Islam. Hal itu menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang makin erat.
            Di Banten, fungsi istana sebagai lembaga pendidikan juga sangat mencolok. Bahkan pada abad ke-17, Banten sudah menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam di pulau Jawa. Para ulama dari berbagai negara menjadikan Banten sebagai tempat untuk belajar. Martin van Bruinessen menyatakan, “Pendidikan agama cukup menonjol ketika Belanda datang untuk pertama kalinya pada 1596 dan menyaksikan bahwa orang-orang Banten memiliki guru-guru  yang berasal dari Mekkah”.
            Di Palembang, istana (keraton) juga difungsikan sebagai pusat sastra dan ilmu agama. Banyak Sultan Palembang yang mendorong perkembangan intelektual keagamaan, seperti Sultan Ahmad Najamuddin I (1757-1774) dan Sultan Muhammad Baha’uddin (1774-1804). Pada masa pemerintahan mereka, telah muncul banyak ilmuwan asal Palembang yang produktif melahirkan karyakarya ilmiah keagamaan: ilmu tauhid, ilmu kalam, tasawuf, tarekat, tarikh, dan al-Qur’an. Perhatian sultan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam tercermin pada keberadaan perpustakaan keraton yang memiliki koleksi yang cukup lengkap dan rapi.
Berkembangnya pendidikan dan pengajaran Islam, telah berhasil menyatukan wilayah Nusantara yang sangat luas. Dua hal yang mempercepat proses itu yaitu penggunaan aksara Arab dan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu (lingua franca). Semua ilmu yang diberikan di lembaga pendidikan Islam di Nusantara ditulis dalam aksara Arab, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Melayu atau Jawa. Aksara Arab itu disebut dengan banyak sebutan, seperti huruf Jawi (di Melayu) dan huruf pegon (di Jawa). Luasnya penguasaan aksara Arab ke Nusantara telah membuat para pengunjung asal Eropa ke Asia Tenggara terpukau oleh tingginya tingkat kemampuan baca tulis yang mereka jumpai.
            Pada 1579, orang Spanyol merampas sebuah kapal kecil dari Brunei. Orang Spanyol itu menguji apakah orang-orang Melayu yang menyatakan diri sebagai budak-budak sultan itu dapat menulis. Dua dari tujuh orang itu dapat (menulis), dan semuanya mampu membaca surat kabar berbahasa Melayu sendiri-sendiri.
            Berkembangnya pendidikan Islam di istana-istana raja seolah menjadi pendorong munculnya pendidikan dan pengajaran di masyarakat. Setelah terbentuknya berbagai ulama hasil didikan dari istana-istana, maka murid-muridnya melakukan pendidikan ke tingkatan yang lebih luas, dengan dilangsungkannya pendidikan di rumah-rumah ulama untuk masyarakat umum, khususnya sebagai tempat pendidikan dasar, layaknya kuttâb di wilayah Arab.
            Sebagaimana kuttâb (lembaga pendidikan dasar di Arab sejak masa Rasulullah) yang biasa mengambil tempat di rumah-rumah ulama, di Nusantara pendidikan dasar berlangsung di rumah-rumah guru. Pelajaran yang diberikan terutama membaca al-Qur’an, menghafal ayat-ayat pendek, dan belajar bacaan salat lima waktu. Dan ini diperkirakan sama tuanya dengan kehadiran Islam di wilayah ini. Di Nusantara, masjid-masjid yang berada di permukiman penduduk yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat menjalankan fungsi pendidikan dan pengajaran untuk masyarakat umum.
            Di sinilah terjadi demokratisasi pendidikan dalam sejarah Islam. Demikianlah yang terjadi di wilayah-wilayah Islam di Nusantara, seperti Malaka dan kemudian Johor, Aceh Darussalam, Minangkabau, Palembang, Demak, Cirebon, Banten, Pajang, Mataram, Gowa-Tallo, Bone, Ternate, Tidore, Banjar, Papua dan lain sebagainya. Bahkan mungkin karena memiliki tingkat otonomi dan kebebasan tertentu, di masjid proses pendidikan dan pengajaran mengalami perkembangan. Tidak jarang di antaranya berkembang menjadi sebuah lembaga pendidikan yang cukup kompleks, seperti meunasah di Aceh, surau di Minangkabau, langgar di Kalimantan dan pesantren di Jawa.

BAB III
PENUTUP


            Pada abad 1 Masehi, jalur perdagangan tidak lagi melewati jalur darat (jalur sutera) tetapi beralih kejalur laut, sehingga secara tidak langsung perdagangan antara Cina dan India melewati selat Malaka. Untuk itu Indonesia ikut berperan aktif dalam perdagangan tersebut. Akibat hubungan dagang tersebut, maka terjadilah kontak/hubungan antara Indonesia dengan India, dan Indonesia dengan Cina. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab masuknya budaya India ataupun budaya Cina ke Indonesia.
            Mengenai siapa yang membawa atau menyebarkan agama Hindu – Budha ke Indonesia, tidak dapat diketahui secara pasti, walaupun demikian para ahli memberikan pendapat tentang proses masuknya agama Hindu – Budha atau kebudayaan India ke Indonesia. Untuk agama Budha diduga adanya misi penyiar agama Budha yang disebut dengan Dharmaduta, dan diperkirakan abad 2 Masehi agama Budha masuk ke Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan arca Budha yang terbuat dari perunggu diberbagai daerah di Indonesia antara lain Sempaga (Sulsel), Jember (Jatim), Bukit Siguntang (Sumsel).
            Dilihat ciri-cirinya, arca tersebut berasal dari langgam Amarawati (India Selatan) dari abad 2 – 5 Masehi. Dan di samping itu juga ditemukan arca perunggu berlanggam Gandhara (India Utara) di Kota Bangun, Kutai (Kaltim).